Vol 3 halaman 10

13.1K 230 26
                                    

***

"Hoaam ..."

Yuri menguap kecil setelah mengerjap-ngerjap matanya.

"Ikan?" katanya heran saat melihat lukisan ikan-ikan koi terpajang di sekitarnya.

Perlahan ia menegakan kepalanya, mengucek matanya sebentar sambil memerhatikan keadaan sekitar.

Keningnya berkerut sebentar saat mendengar suara keramaian disekitarnya.

Alunan lagu lembut, dentingan sendok pada piring dan suara-suara orang yang berbincang membuat kerutan dikeningnya semakin dalam.

"Ini dimana?" pikirnya.

Ia mulai memerhatikan kursi yang didudukinya dan meja yang dipakai menyangga kepalanya tadi.

Sepertinya ia sangat mengenali tempatnya ini, namun pembatas dinding bergambar ikan yang ada disekelilingnya ini terasa asing dimatanya.

Dalam beberapa saat kerutan dikeningnya hilang ketika sudah yakin ada dimana ia kini.

Yuri segera menyambar tas gendongnya yang berwarna kuning.

Perlahan ia menggeser sedikit pembatas ruangan bergambar ikan koi itu untuk mengintip keluar.

"Anda sudah bangun nona?"

Yuri melonjak kaget mendengar suara yang tiba-tiba itu.

"Maaf, maafkan saya, anda tidak apa-apa? Saya tidak bermaksud mengagetkan anda."

Yuri tersenyum memandang pelayan yang terus menerus membungkuk dihadapannya ini.

"Aku tidak apa-apa. Emm ... berapa lama aku tertidur?" Yuri mulai melangkah keluar dari pembatas ruangan beroda itu sambil membetulkan ikatan rambutnya.

Beberapa pengunjung yang kebetulan duduk disekitarnya memandang heran kearahnya.

Bagaimana tidak heran, seorang gadis dengan mata agak bengkak dan rambut berantakan khas orang bangun tidur keluar dari dalam tempat yang dilingkupi pembatas ruangan beroda.

Si pelayan berpikir sejenak sebelum menjawab. Ia melihat jam yang melingkar ditangannya, "sekarang pukul setengah delapan malam, jadi ... kira-kira nona sudah tertidur selama ... tujuh jam setengah."

"A-apa?! Ya ampun, aku harus pulang," pekik Yuri kaget, Ryu pasti sedang khawatir menunggunya.

"Ya ampun, lama sekali aku tertidur. kenapa aku sampai bisa tertidur disini? Uh, memalukan. Sungguh memalukan ...!" gerutunya dihati.

Ia melangkah terburu-buru menuju meja kasir.

"Nona sudah bangun? Kami semua sempat kaget tadi, kami kira anda ...."

Yuri membungkukan badannya dalam-dalam, "maafkan aku karena sudah merepotkan kalian."

Yuri sangat malu, ia masih belum dapat mengingat, kenapa dirinya bisa tertidur di cafe ini.

"Tidak-tidak, anda tidak perlu seperti ini," kata penjaga kasir itu panik. "Anda tinggal di gedung itu bukan? Jangan sungkan anggap saja kita semua keluarga. Ah, maaf itu juga ... kalau anda tidak keberatan."

"Tentu--tentu saja tidak, aku senang mendengarnya, terimakasih," Yuri cepat-cepat tersenyum. "Aduh maaf, aku harus segera pulang. Berapa porsi semua ice cream yang telah aku makan tadi?" Yuri mengeluarkan dompetnya.

"Tidak perlu nona, tuan Ushio telah membayarnya tadi."

"Apa? Paman botak, ups maksudku paman Ushio sudah membayarnya?"

Pelayan itu mengangguk cepat seraya tertawa kecil.

"Oh, ya sudah kalau begitu. Aku pulang dulu, selamat malam."

"Selamat malam nona."

Setelah saling bertukar senyum Yuri melangkah cepat menuju pintu keluar.

Hawa dingin yang tidak biasa menembus kulitnya yang terbungkus jaket tebal berwarna pink.

Butiran-butiran putih halus turun perlahan dari langit menyentuh wajah dan telapak tangannya.

Senyumnya mengembang, "salju?" tangannya menengadah keatas.

"Salju, ini benar-benar salju," katanya riang.

Tanpa mempedulikan orang-orang disekitarnya, Yuri melompat-lompat senang didepan cafe. Kemudian ia berjalan menuju gedung apartemennya sambil tetap melompat-lompat.

Sebuah mobil Lamborghini putih yang terparkir sembarangan dihalaman gedung apartemennya membuat langkahnya tiba-tiba terhenti.

Rasa itu datang lagi, senyum diwajahnya perlahan menghilang.

Entah mengapa sebulir air mata dengan bebas malah menuruni pipinya.

Bayangan itu muncul lagi.

Kenyataan Ryu yang telah memegang pergelangan tangan wanita lain tadi pagi membuatnya melangkah mundur sedikit demi sedikit.

Rasa sesak kembali memenuhi dadanya.

Ia tidak mau kembali keapartemennya dalam kondisi menangis seperti ini.

Ia tidak mau Ryu melihatnya kacau seperti ini.

"Pernikahan bukan main-main," suara Ryu seakan keluar dari memorinya sendiri.

Yuri menggelengkan kepalanya cepat-cepat.

"Aku tidak pernah begini, tolong ajari aku untuk memahami hatimu," langkahnya terhenti kala kilasan kata-kata Ryu teringat kembali olehnya.

"Tolong percayalah padaku," gema suara Ryu dihatinya membuat airmata Yuri tidak mau berhenti.

Yuri menyentuh ulu hatinya yang sakit karena sesuatu yang tidak dimengertinya.

Kembali melangkah mundur kemudian berlari cepat menjauhi gedung apartemennya.

---

Hawa dingin di kota Shinjuku semakin menusuk kulit.

Salju pertama telah turun dari jam lima sore tadi.

Ryu sudah tidak dapat bertahan lagi.

Tubuhnya menggigil kedinginan, wajahnya semakin memucat.

Bagaimana tidak, ia meninggalkan jaket tebalnya di mobil.

Hanya jas coklat berbahan katun saja yang melindungi tubuhnya yang cuma memakai kaos putih berlengan pendek.

Dengan bibir bergetar ia mengumankan nama Yuri, meneriakan nama itu di dalam hati, berharap secepatnya dapat bertemu dengan Yuri kembali untuk memastikannya baik-baik saja.

"Gadismu adalah targetnya sekarang," kata-kata Yoshi yang teringat dibenaknya membuat ia semakin tersiksa dalam kecemasan.

Badannya semakin mengigil kedinginan, kakinya perlahan melemas. Ia merasa sudah sangat lelah, dunia yang dipijaknya terasa berputar-putar, perlahan pandangannya menjadi buram.

Sebelah tangannya mencoba berpegangan pada pagar pembatas jalan.

Namun otot tangannya seakan tidak bertenaga.

Tubuhnya limbung perlahan.

"Ryu ...!!"

Early weddingOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz