01 || HARGA KEBEBASAN

2.2K 140 12
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


I am no bird; and no net ensnares me: I am a free human being with an independent will.

- Charlotte Bronte -

*

"Aku nggak mau jadi pengacara!"

Aurora tidak bermaksud untuk memulai pertengkaran sepagi itu. Hari ini hari Minggu, dan seperti biasa, dia bangun setiap jam enam untuk memulai aktivitasnya. Sama seperti dia, kedua orang tuanya juga sudah terbangun. Mama Lili menyambutnya di dapur, menyelipkan selembar roti panggang ke mulut Rora yang lapar, sementara papa menunggu di ruang keluarga, terbalut dalam jubah mandinya yang tebal, ditemani secangkir kopi. Begitu melihat surat dari salah satu kampus terkemuka tergeletak di atas sofa, Rora langsung tahu apa yang sedang terjadi. Dan kecurigaannya terbukti saat papa mulai berceloteh tentang masa depan impian untuk anak perempuannya.

Mereka telah membicarakan hal ini, berulang kali. Dan selalu saja topik tersebut membawa medan peperangan ke rumah. Rora lelah menolak paksaan papa, biasanya dia mencoba berargumen dengan tenang di beberapa menit pertama. Tapi sekarang, sebelum dia tahu, dia sudah berteriak saking kesalnya. Baru juga dia dan seisi sekolah menangis bahagia karena lulus kemarin, baru juga dia bisa bernafas lega karena nilainya sesuai dengan yang papa inginkan, bahkan lebih.. Sekarang papa memutuskan bahwa dia bisa dijadikan aset! Memaksanya secara verbal, adalah hal yang berbeda dengan menyuruhnya membaca surat penerimaan yang telah dibuat tanpa sepengetahuannya. Ini jelas menunjukkan bahwa papa serius dan nggak akan mundur.

"Kamu sudah cukup bertingkah, kak. Kamu masih ada di bawah perlindungan papa, jadi kamu akan menurut dan pergi kuliah di tempat yang sudah papa tentukan," papa terlihat tenang dan menyesap kopinya, seakan sudah tahu mengenai akhir pembicaraan ini.

Rora menghela nafas, mencoba bicara dengan lebih tenang. Dia mengatupkan gigi, tapi surat yang tadi dia baca kini kusut dalam genggamannya, terlalu kuat diremas. "Pa.. Aku nggak mau jadi pengacara! Udah banyak orang yang nanganin manusia—"

"Terus kamu mau menangani apa, binatang?" papa mendongak dari tempat duduknya di sofa, terkekeh meremehkan.

Anak perempuannya melotot, merasa tersinggung oleh perlakuan yang tidak sensitif tersebut. "Iya! Aku mau jadi ahli biologi dan ngebantu konservasi lingkungan. Emang nggak boleh??" Rora berseru ngotot, kembali melupakan etikanya. Siapa juga yang peduli? Kasar, lembut.. Papa akan tetap ngeyel tidak peduli dengan nada bicara Rora.

Kali ini, giliran laki-laki berumur empat puluh tahunan akhir itu yang terkejut. "Nggak! Kamu kerja begitu mau dapet gaji berapa? Nggak usah, nggak ada gunanya! Cukup orang-orang pemerintah yang ngelakuin itu." Papa belum pernah mendengar cita-cita Rora sebelumnya. Tapi kini karena Rora sudah mengatakannya, dia akan langsung menepisnya mati-matian! Enak saja anaknya harus bekerja di tempat berbahaya dan tidak bersahabat seperti itu! Harusnya, memang dari awal Rora dilarang bergabung dengan organisasi pembela lingkungan tempatnya aktif. Lagipula, anaknya itu cantik dan berbakat. Dia tidak akan membiarkan pesona dan kecantikannya redup dalam mengerjakan hal-hal tidak penting, hilang di pedalaman Indonesia atau entah dimana. Siapa yang akan mengambilnya menjadi istri nanti? Laki-laki macam apa? Yang gajinya kecil seperti dia? Yang kerjaannya menghirup asap di Riau? Gaul sama orang utan? Mimpi!

ROAD TRIP! (COMPLETE)Where stories live. Discover now