3 - Weapon

4.5K 683 126
                                    

BEL sekolah berdering tepat saat kedua mata Astron sudah mencapai batas terjaganya. Bagai mendengar lonceng penyelamatan, nyawanya yang sempat lenyap satu persatu karena mendengarkan ocehan guru sejarahnya dengan cepat terkumpul kembali.

"Cukup materi kita hari ini. Sampai jumpa di pertemuan—"

Tidak ada murid di kelas Astron yang tertarik mendengar kalimat lanjutan dari sang guru, termasuk dirinya sendiri. Mereka semua langsung berhamburan keluar kelas dengan senyum lebar tercetak di wajah, tak sedikit pun merasa tidak enak karena sudah bersikap kurang ajar kepada guru malang itu.

Seperti biasa, Astron akan mampir ke kelas adik kembarnya setelah ia menyempatkan diri untuk berbincang sedikit dengan teman-teman sekelasnya. Percakapan adalah hal penting, bukan? Itulah yang membuat Astron memiliki banyak teman dan kenalan di sekelilingnya. Tidak seperti gadis berwajah datar yang tengah menunggunya di samping kelasnya itu.

Alyster bersedekap saat melihat kedatangan Astron. Sekejam-kejamnya Alyster, dia merupakan seorang yang cukup pengertian, terutama kepada Astron yang secara teknis adalah orang yang paling berperan banyak dalam hidupnya. Alyster tidak hanya menganggap Astron sebagai kakak, sebab sikapnya yang terkadang sok bijak mengingatkannya kepada figur kakek; sikap protektifnya membuat Alyster merasa memiliki ayah; kepeduliannya terasa bagai seorang sahabat; dan kelakuan menjengkelkannya meyakinkan Alyster bahwa Astron juga merupakan musuh terbesarnya.

Tak peduli selama apapun Alyster harus menunggu Astron, ia tidak akan pulang tanpa kakak kembarnya. Ia tidak mau Astron merasa tidak enak sampai harus memotong waktunya bersama teman-temannya hanya karena enggan membuat Alyster menunggu lebih lama.

"Jadi, kau mau pulang dulu atau langsung ke rumah Paman Hannes?" Astron bertanya saat mereka berdua baru melangkah keluar dari gerbang.

Alyster mengecek arlojinya. Pukul tiga sore. "Langsung ke rumah Paman Hannes saja supaya ada lebih banyak waktu buat kita berlatih."

Otak Astron sebenarnya butuh istirahat setelah menempuh berjam-jam waktu pelajaran yang suntuk. Tetapi ia tahu adiknya benar. Tiga belas misi ada di depan mata dan mereka tidak boleh menggagalkannya kecuali mereka ingin keluarga Leeds bangun dalam keadaan buruk rupa karena mereka gagal menyelesaikan misi.

(-)

Sesi latihan tak tanggung-tanggung berlangsung begitu keras. Astron dan Alyster baru tahu kalau ternyata Paman Hannes adalah seorang pensiunan militer yang punya segudang bakat mengoperasikan senjata dan bertarung jarak dekat.

"Kemampuanmu dengan senjata api lumayan bagus, Astron. Belajarlah untuk memakai pisau lebih baik lain kali," ucap Paman Hannes.

Astron terengah-engah. Sekujur tubuhnya luka karena terus bergesekkan dengan bermacam-macam senjata tajam. Paman Hannes menggunakan pisaunya begitu sempurna dan luwes. Tidak hanya pisau, sebenarnya, melainkan hampir semua jenis senjata. Astron yakin sekadar tusuk gigi pun praktis menjadi berbahaya jika yang memegangnya adalah Paman Hannes.

"Dan kau, Alyster." Mata Paman Hannes mendarat pada gadis yang duduk di sebelah Astron. "Kau tidak terlalu terampil dalam persenjataan, tetapi duel tangan kosongmu benar-benar luar biasa. Katakan, dimana kau belajar bela diri?"

"Aku ikut klub karate," sahut Alyster sambil mengatur napas.

Kedua sudut bibir Paman Hannes terangkat. "Ah, aku yakin kau pasti sudah sabuk hitam."

Alyster balas tersenyum, tetapi lebih tipis dan segera lenyap secepat datangnya. "Begitulah. Aku mendapatkannya dua tahun lalu," jelasnya singkat, tak sedikitpun menunjukkan minat untuk menyombongkan prestasinya itu.

Drop Dead BeautifulHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin