#17 Malam pertama uhug

314K 17.6K 1.5K
                                    

Sebelum masuk ke dalam kamar mandi, dengan bodohnya gue kembali mengecek pintu. Sekedar memastikan kalau sudah terkunci sempurna. Setelah yakin pintu itu ngga akan terbuka meski di dobrak dengan sepuluh algojo semodelan bang Tigor sekalipun, barulah gue berani membuka total gaun laknatullah ini dan melenggang ke dalam kamar mandi.

Cukup lama gue habiskan waktu untuk bersih-bersih diri. Sambil mengeringkan rambut dengan handuk, gue berjalan ke sudut kamar. Membuka koper kecil milik gue, mengambil pakaian dalam, kaos oblong kebesaran dan celana kain di atas lutut. Mengenakannya sembari bersenandung. Berendam air hangat memang memberi efek luar biasa. Lelah yang tadi gue rasa menguar tergantikan dengan perasaan rileks dan segar. Kayak baterai hape yang habis di charge. Tenaga gue pulih kembali.

Usai berganti pakaian, gue hempaskan diri di kasur, merentangkan tangan dan kaki selebar-lebarnya. Menikmati kenyamanan yang gue idamkan sejak siang tadi. Jadi Raja dan Ratu sehari itu ngga enak. Lu mesti tahan berdiri berjam-jam, bersalaman dengan ratusan bahkan bisa ribuan orang sampe tangan kapalan, tersenyum sepanjang waktu, mendadak sok ngartis karena banyak yang minta foto bareng. Iya bagi pasangan yang menikah atas dasar cinta sih fine-fine aja. Semua penderitaan itu mereka nikmati dengan senyuman. Nah kalo yang nikah jenis tahu bulat macam gue gini, 'dadakan'. Jangankan bincang-bincang manja, noleh ke gue aja Pak Nugra ogah.

Gue pejamkan mata berharap bisa langsung terlelap. Tapi kantuk ngga kunjung tiba. Itu susahnya, kalo terlalu capek gue malah susah tidur. Teringat sesuatu, gue melirik ke nakas dan terfokus pada benda pipih yang tergeletak disana. Kebeneran sejak pagi gue memang ngga nyentuh benda itu. Siapa tau sekedar cek-cek sosial media bisa mendatangkan kantuk. Gue berguling ke kanan, merusak tatanan kelopak mawar yang tadi di susun rapi membentuk hati. Entah bagaimana bisa gue kebablasan dan malah terjerembab ke lantai.

Gubrak

"Wadoh jidat gue."

"Kamu ngapain tiduran disitu?" terdengar suara bariton seseorang bertanya.

Gue menoleh kepo, "Haaah!" terperanjat. Lalu menjerit lebay. Terduduk brutal di lantai mendapati Pak Nugra yang berdiri menjulang di samping gue. "Siapa kamu?" tanya gue dramatis.

"Reseller wak doyok." tukas Pak Nugra lempeng.

Kalo gue lagi makan atau minum sekarang, sudah pasti isi dalam mulut gue berhamburan keluar. Tawa gue pecah seketika. Ternyata ini dogan korban meme juga.

"Ngapain kamu tidur di bawah? Kasur seluas ini bisa buat main bola, tapi kamu lebih milih tidur di lantai." cibir Pak Nugra hiperbolis melepas jasnya dan menyapirkannya di kursi.

Gue balik mencibir tanpa suara. Duduk di ranjang, memijit jidat yang benjol. "Siapa yang tidur? Orang lagi jaga lilin," gue mengedikkan dagu ke arah bufet di sisi barat kamar hotel yang dihiasi lilin-lilin mungil yang berpedar di dalam gelas kaca. "Kok udah balik?"

"Kamu kira saya babi ngepet!" Pak Nugra berkacak pinggang murka. Gue kembali tertawa.

Tawa gue terhenti tak kala gue ingat sesuatu. Mata gue memicing, memperhatikan penuh selidik setiap gerakan Pak Nugra.

"Bapak masuk lewat mana?" tuding gue.

"Ya lewat pintu mau lewat mana lagi." jawabnya santai, berjalan ke arah nakas meletakkan jam tangan, dompet dan hapenya disana.

Tapikan pintunya...

"Saya terpaksa minta petugas hotel untuk bukain pintunya. Nyaris dua jam saya nunggu di luar, tidak ada tanda-tanda pintu akan di buka dari dalam." tambahnya seakan tau isi pikiran gue.

"Lah tangan segede meriam itu apa gunanya. Ketok kan bisa." tangan gue terangkat, memperagakan mengetok pintu.

"Telinga selebar itu apa gunanya," Pak Nugra menunjuk telinganya sendiri. "Saya ketok sampai tangan saya kram tidak kamu buka-buka juga." balas Pak Nugra membalikkan kalimat gue.

Suami Satu Semester (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now