#32 LDR (Lagi Dilanda Rindu)

276K 20.7K 2.8K
                                    

Malam semakin larut, suara jangkrik bersahut-sahut. Gue bersenandung kecil sekedar menghalau rasa kantuk. Untuk ukuran manusia normal, saat ini mereka pasti tengah terlelap nyenyak memimpikan orang terkasih hingga mungkin Aura Kasih. Sementara gue udah kayak kunti, masih beraksi meski sudah dini hari. Bedanya kunti kerjanya menakut-nakuti, sedang gue berkutat dengan laptop, jurnal dan buku-buku referensi. Ajaib bukan. Sungguh skripsi mampu mengubah pola hidup seorang Juni.

Gue menguap sesekali, membolak-balik lembar demi lembar jurnal dan buku. Mengetik hingga jemari terasa kaku. Namun serangan kantuk itu semakin menjadi. Gue lirik jam di dinding. Pukul dua kurang seperempat. Mengerjap-ngerjapkan mata beberapa kali. Meletakkan laptop di sofa, gue berdiri melakukan sedikit stretching sekedar melemaskan otot yang tegang. Di mulai dengan menggerak-gerakkan kepala ke kanan dan ke kiri, lalu memutarnya beberapa kali. Gue posisikan kedua tangan ke atas dengan jemari saling bertaut, menarik badan miring empat puluh lima derajat ke kanan dan menahannya beberapa detik.

"Ngeliatinnya biasa aja. Ini juga gara-gara Daddy lu gue begini." dumel gue pada Pablo yang memandangi gue kepo dari dalam tanknya. "Tidur sana, jam segini masih aja berenang. Apa mau gue nyanyiin Lingsir Wengi dulu biar lu tidur." Gue kembali ke posisi tegak, gantian gue tarik badan ke sebelah kiri.

Tiba-tiba pintu kamar Pak Nugra terbuka. Tak lama muncul si empunya dengan muka bantalnya. Sebelah tangannya memegang gelas kosong. Sebelah lagi mengucek mata layaknya bocah. Jidatnya terlipat tiga ketika netra hitamnya menangkap kehadiran gue.

Gue belum nyanyi loh ini, tapi dedemitnya udah nongol duluan.

"Hai ganteng, kok bangun?"

"Kamu ngapain miring-miring begitu?" tanya kami bertabrakan.

"Miring-miring, stretching keles." cibir gue. "Terapi otak nih. Menurut buku Tatang Sutarma yang di baca Kang Sule, memiringkan badan empat puluh lima derajat ke kanan dan ke kiri begini, bisa membuat otak encer, sedikit." alih-alih ketawa Pak Nugra geleng-geleng kepala prihatin sebagai respon, lalu melenggang ke dapur.

Berdiri tegak, gue mendekati tank Pablo, mensejajarkan posisi kami.

"Si kampret ya Daddy, lu." ucap gue berbisik, seperti sedang bergosip dengan ikan cupang satu ini. "Mukanya sok di ganteng-gantengin banget." sambung gue disertai decisan pelan. "Ngga usah lu bela, Blo. Iya gue tau dia emang ganteng. Puas lu!" ah elah gosip sama Pablo sama aja bohong. Bukannya ikutan nimbrung dia malah pasang mode silent.

Gue duduk lesehan di karpet bersandar ke sofa. Memangku laptop, membuka draft skripsi yang baru separuh jalan gue kerjakan. Target gue, bab dua harus rampung malam ini. Revisi urusan nanti, yang penting selesai dulu.

Kepala gue terteleng ke samping kala menemukan nampan berisi dua cangkir. Satu cangkir susu cokelat dan satu cangkir lagi kopi hitam. Gue mendongak. Sesuai dugaan, Daddy Pablo pelakunya.

"Bimbingan sekarang?" tawarnya sembari mengambil posisi di samping gue.

"Bapak--" kernyitan dahi Pak Nugra membuat gue merevisi sapaan gue. "Ehm Mas, ngga tidur?"

"Tadi sudah, kamu yang belum tidur dari tadi, matanya sampai sayu begitu." Pak Nugra menyodorkan cangkir susu ke gue. "Minum dulu."

"Masa sih?" Gue menerima cangkir susu itu sementara tangan yang lain mengambil hape. Meng-klik kamera guna melihat kebenaran kata-kata Pak Nugra. "Bener ih, mata saya udah kayak mata zombie."

"Benar kan." Pak Nugra mendekat ke gue hingga pipi kami nyaris bersentuhan, tujuannya ternyata buat nyempil melihat mata gue di layar hape. Padahal dia bisa minta gue merebahkan hape sedikit kan biar jangkauannya lebih luas atau dia bisa mandang langsung ke muka gue tanpa perlu mepet-mepet begini.

Suami Satu Semester (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now