#22 Pengakuan Tak Terduga

226K 17.3K 906
                                    

Sambil duduk bersandar di sofa, gue mengetuk-ngetuk hape di paha. Melirik jam dinding yang menunjukan jarum pendek di angka delapan dan jarum panjang di angka tiga. Sudah hampir satu jam berlalu, namun abang gojek yang mengantarkan orderan pecel lele gue belum datang-datang juga. Padahal seharusnya gue udah bisa menikmati lele sama sambal terasinya dari setengah jam yang lalu, bahkan mungkin sekarang itu lele lagi di cerna di usus. Tapi apa mau di kata, dari tadi cuma angin yang bisa gue makan.

Kalo aja kartu debit yang dikasih Pak Nugra ngga ketinggalan pasti ngga kayak gini ceritanya. Gue ngga bakal kelaparan model begini. Di kulkas udah pasti banyak bahan makanan yang bisa gue olah. Asem. Itu benda emang sumber masalah. Bayangin dah gara-gara 'dia' gue mesti nahan malu di depan puluhan pasang mata, ngga bisa bayar tagihan makanan yang gue pesan sendiri. Apalagi pake segala mau di bawa ke kantor polisi. Cuma di ftv situasi gue gini bisa di bayar dengan cara paling halu, cuci piring. Hello life isn't a ftv coeg. Boro-boro cuci piring, dalam waktu setengah jam gue ngga bisa bayar. Abis gue di lempar ke buih. Bujubuneng.

Untungnya pahlawan sekaligus malaikat pencabut nyawa gue datang di saat yang antara tepat dan nyaris telat. Pak Nugra membayar semua tagihannya dan membebaskan gue dari cibiran-cibiran maut pengunjung lain. Cuma ya itu, setelahnya gue dapat siraman rohani.

"Kaga bisa nih, besok kudu jemput miky. Gila, ngga bisa gerak gue. Mau keluar cari makan aja susah." rutuk gue seraya berjalan ke jendela, mengintip keluar kali aja itu driver gojek udah datang. Namun nihil, di luar sepi ngga tampak tanda-tanda hilalnya.

Gue kembali berbaring di sofa. Mengusap-usap perut yang datar sedatar papan gilesan. "Cing, sabar ya cing. Oom gojeknya bentar lagi dateng." gumam gue lemah.

Tak ingin berhenti berharap, gue mengangkat hape. Membuka kunci, mengecek siapa tau itu abang gojek udah nelpon, cuma ngga ke angkat.

Klik. Kunci terbuka. Detik itu juga makian gue mengudara.

"Biadab, ke cancel!!" kapan gue cancelnya?

Darah di badan gue mendadak naik ke ubun-ubun, mendidih. Hape di tangan jatuh tergeletak di karpet. Kedua tangan gue mengepal erat.

"Arghhhh!!" jerit gue kesal. Menerjang-nerjang udara, meninju-niju hampa.

Ya lord. Gue udah nunggu sejam, di demo cacing, taunya orderan gue ngga sengaja ke cancel. Sakit hati hayati Uda. Sakiiiit.

"Anjing. Setan. Bang..."

"Bang?!"

Suara bariton seseorang menghentikan makian gue. Membuat gue terduduk, menoleh ke arah partisi pembatas ruang tamu dan ruang tengah.

"Bang apa?" Pak Nugra mengulang kata-kata gue. Ia berdiri disana dengan jas yang tersampir di lengan kanannya.

Sial. Ke gap lagi.

Gue nyengir. Menggosok-gosok punggung kursi salah tingkah. "Udah balik Pak?" tanya gue basa-basi.

Pak Nugra mendekat. "Ini mulut kebiasaan." katanya, "Ngomong tidak di filter. Apa peringatan saya kurang jelas tadi? Eum?" telunjuk Pak Nugra menepuk-nepuk bibir gue. Membuat gue memonyongkan bibir semakin kedepan. Gila ya, tangan Pak Nugra wangi banget, bikin gagal fokus.

Pak Nugra menjauhkan tangannya. Membuat gue memberengut kecewa. "Tangan Bapak wangi banget." seru gue menghirup udara rakus di sisa-sisa keharuman tangan Pak Nugra.

Suami Satu Semester (SUDAH TERBIT)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon