#38

226K 21.7K 6.7K
                                    

Sayup-sayup gue dengar suara Jason Derulo mengalun. Semula hanya alunan kecil semata namun lama kelamaan berubah menjadi dentuman maha dahsyat yang mengganggu nyenyaknya tidur seorang Juni. Walaupun gue baru bangun, nyawa masih setengah sadar dan setengah lagi masih melanglang buana. Gue masih bisa mengenal suara berisik apa gerangan barusan. Yaps, suara berisik itu berasal dari hape gue sendiri. Sebuah panggilan telepon masuk. Sialan! Siapa coba yang nelepon sepagi ini. Nggak tau kah dia kalo gue begadang semalaman nungguin Manug yang nggak pulang-pulang. Ck dengar kata Manug mendadak emosi gue naik level ke level seratus.

Gula Jawa satu itu ya, emang keterlaluan banget. Pergi tanpa kabar. Baru aja kemarin sayang-sanyangan eh semalam udah hilang-hilangan. Kan kampret!

Gue rentangkan tangan, meraba-raba sisi di samping tempat gue tidur dengan mata masih terpejam, berharap bisa menemukan benda penyebab kegaduhan itu. Sayangnya gue bukan si Buta dari gua hantu yang bisa melihat dengan mata butanya. Bukan hape yang gue dapat, gue malah meraba-raba kosong. Tiba-tiba pergelangan gue dipegang, dibuat terlentang lalu benda pipih memekakkan telinga itu terparkir di telapak tangan gue. Nah akhirnya.

Gue jawab morning call dari orang nggak tau diri yang nggak lain dan nggak bukan ternyata Ki Joko Bodo wekawe. Keponakannya Dimas Kanjeng, cucunya Mbah Mijan itu.

"Apa lo?!" sergah gue garang.

"Buset, galak amat Nyet." jawab Noval di seberang sana. "Gue lempar pisang nih."

"Nggak usah bacrit lu, banyak crita. To the point aja, lu mau nyusahin gue apa?" yang namanya Noval, nggak mungkin dia nelepon pagi-pagi kalo nggak ada sesuatu.

Noval terbahak. "Nah gitu dong peka. Iklash legowo disusahin temen, jangan giliran seneng aja baru nimbrung. Ke kampus lu, buru. Bantuin gue. Jam Sembilan pagi ini gue seminar."

Benar kan.

Gue berdecak sekali, "Sekarang jam berapa?" menyipitkan mata menjauhkan hape untuk melihat layarnya.

"Setengah delapan, Nyet." jawab Noval.

Gue dekatkan lagi hape ke telinga,"Oke. Setengah sembilan gue udah di kampus. Bye."

Klik.

Gue putus panggilan itu sepihak. Meringkuk kesamping mencari posisi paling nyaman. Menghirup udara rakus, wangi sisa-sisa parfum bercampur keringat menginvasi indra penciuman gue. Wangi familiar yang memberi kedamaian, mengantarkan gue kembali terlelap melanjutkan tidur yang sempat terganggu tadi.

"Siapa yang telepon?" kalimat tanya dari suara berat laki-laki menarik gue dari buaian kenyamanan ini.

Siapa yang ngomong?

Rasa penasaran mengantarkan gue membuka mata perlahan, tersadar sepenuhnya. Dagu dan rahang penuh bulu halus bakal jambang menjadi pemandangan pertama yang gue tangkap dengan mata sayu ini. Pak Nugra menoleh.

Gue terkesiap, "Mas?"

"Morning hummingbird." Sapanya disertai senyuman.

Tak ada balasan, gue terlalu fokus meneliti posisi kami. Yang gue baru sadari lengan meriam Pak Nugra menjadi tumpuan kepala gue. meskipun terlihat keras tapi terasa nyaman.

"Siapa yang barusan telepon?" tanyanya sekali lagi meski dengan suara serak dan muka bantal. "Si gondrong teman kamu itu ya?"

Sekali lagi gue abaikan pertanyaannya. Gue terduduk tiba-tiba. Mata gue memicing. Menscan tampilan Pak Nugra, ia masih mengenakan baju yang semalam ia pakai.

Suami Satu Semester (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now