Teka-Teki Kehidupan

297 26 21
                                    

Teriakan itu terus saja menembus gendang telinga. Rintihan pilu dari seorang wanita berusia kisaran 47 tahun.
.
Dari balik sebuah ruangan berukuran 3x3 meter, tangisannya terdengar begitu jelas. Terkadang, dia berontak meminta untuk dipulangkan. Tapi keadaan seolah membelenggunya di tempat ini, selama kurang lebih 3 tahun lamanya.
.
Dia adalah ibuku. Orang yang telah mengandung selama 9 bulan. Mengajarkan membaca, menulis dan berhitung. Menjadi penguat saat juara kelasku menurun.
.
Bahkan, telah kuanggap seperti sahabat dekat. Dia hidup sebagai seorang single parent karena ayah telah berpulang kepada-Nya.
.
Saat ini, ibu menghabiskan waktu di rumah sakit jiwa. Kejiwaannya terguncang setelah mengetahui jika ayah meninggal karena diracun sahabatnya sendiri.
.
Semenjak itu, ibu sering melamun. Berderai air mata setiap kali ada orang yang bertanya tentang keadaannya. Dan akhirnya, dia mendekam di rumah sakit jiwa.
.
Ya, beginilah hidupku saat ini. Seorang gadis 20 tahun yang harus rela banting tulang seorang diri. Kakakku, dia bunuh diri saat mengetahui ibu gila. Kini, aku harus melewati semuanya seorang diri. Bukan perkara yang mudah.
.
Di saat kebanyakan gadis di luaran sana menghabiskan waktu untuk berfoya-foya, lain halnya denganku. Setiap hari, aku harus bekerja sebagai pelayan restoran di kota besar ini--Bandung.
.
Gaji yang tak seberapa, membuatku harus mencari tambahan uang dengan menjaga warung nasi milik Bu Tinah, tetanggaku di rumah. Semua itu kulakukan demi menyembuhkan ibu.
.
Aku ingin ibu kembali pulang. Mendekapku dalam segala ketidakadilan hidup. Karena selama dia di rumah sakit jiwa, aku sama sekali tak pernah merasakan bagaimana hangatnya berada di dalam pelukan seorang ibu.
.
Terkadang, rasa ingin menyerah selalu menyergapku. Tapi sekuat mungkin, aku menepis semuanya. Tak seharusnya aku menyerah di saat ibu membutuhkanku. Akulah satu-satunya keluarga yang dimiliki. Tempat ibu bersandar, dari luka yang sulit disembuhkan.

***

"Re, gaji bulan ini," ujar manajer restoran tempatku bekerja menyodorkan amplop putih.

"Terima kasih, Pak."  Aku bangkit dari kursi dan berlalu keluar ruangan. Napas yang terasa sesak, kuatur sedemikian rupa.

Restoran ini seolah menjadi andalanku untuk mendapatkan uang. Karena gaji di tempat Bu Tinah, hanya cukup untuk membeli makan sehari-hari saja. Aku harus banyak berhemat agar bisa menabung. Mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk membayar biaya perawatan ibu di sana.

***

"Re, bagaimana keadaan Ibumu? Apa ada perkembangan?" tanya Sakti saat jam istirahat.

"Lumayan. Sekarang Ibu bisa berkomunikasi lagi. Ya meskipun masih terbata-bata," seruku mengulas senyum.

"Syukurlah ... Semoga cepat sembuh," balas Sakti.

Sakti adalah sahabatku di tempat ini. Meskipun aku baru mengenalnya satu tahun belakangan, tapi kami cukup akrab.
.
Tubuhnya yang jangkung dengan sedikit cambang, membuatnya terlihat sangat menarik. Ditambah dengan kulit sawo matang dan keramahannya, seolah menjadi nilai tambah untuk laki-laki yang usianya sama denganku ini.
.
"Re, ini ada sedikit uang. Semoga bisa bermanfaat. Jangan menolak, aku sengaja menabungnya agar bisa membantumu," kata Sakti, tiba-tiba menyerahkan dua lembar uang seratus ribu.

"Tapi Sak, aku tak bisa menerimanya," tepisku mengembalikan uang itu.

"Kau lebih membutuhkannya, Re. Ambil saja," titah Sakti masih dengan mengulum senyum. Aku tak bisa berbuat banyak dan hanya mengucap terima kasih.
.
Sudah kesekian kalinya dia membantuku seperti ini. Sebenarnya aku malu dan ingin menolak setiap kali dia menawarkan bantuan. Tapi aku tak bisa. Sakti selalu memaksaku untuk menerima apa pun yang diberikannya--sahabat yang baik.

"Maaf, aku selalu membuatmu repot," sesalku malu.

"Tenang saja," seru Sakti tersenyum.

Perbincanganku dengan Sakti terhenti, saat jam istirahat usai. Karen kami harus kembali bekerja. Menjadi pelayan restoran, tersenyum ramah kepada setiap pengunjung yang datang. Meski senyumku penuh kepalsuan.

Gadis yang TerbelengguWhere stories live. Discover now