Fatal

53 7 0
                                    

Tiba saatnya, aku beranjak dari tempat terkutuk itu. Kontrak kerja demgan Zen sudah habis. Menjadi awal yang baik agar aku bisa memperbaiki seluruh kekeliruan dan kesalahan yang terjadi selama ini.
.
Pagi sekali, aku membereskan tempat kerja. Beberapa barang kurapikan dalam dus-dus berukuran sedang. Sejenak, napas ini terasa sesak. Meninggalkan tempat yang selama dua tahun menjadi tumpuan mendapatkan pundi-pundi rupiah, bukanlah perkara mudah. Tapi aku tak boleh mengikuti hasrat untuk tetap berdiam diri di sini. Ini bukan tempatku.
.
"Re? Kau benar-benar akan meninggalkan tempat ini?" tanya Zen, yang sudah berdiri di ambang pintu.

"Kontrak kerjaku sudah habis. Dan tak ada lagi alasan untukku tetap di sini," kataku, meliriknya sesaat.

"Bagaimana denganku?" Pertanyaan aneh yang baru kali ini kudengar. Sejurus angin, aku menatapnya tajam. Mencoba mencari tahu apa maksud dari perkataannya itu.

"Aresha?"

"Apa?"

"Aku menyayangimu." Zen memelukku tiba-tiba. Jantung ini berdegup cepat. Ck, bagaimana mungkin dia memelukku seenak jidatnya?

"Lepaskan!"

Aku mendorong Zen hingga dia sedikit terjungkal. Senyum sinis kembali mengembang darinya. Entah apa yang akan dilakukan pemuda gila di hadapanku ini.

"Kau begitu keras kepala! Cih! Berani-beraninya mendorongku seperti ini," cibir Zen, menyeringai.

"Jangan mendekat! Atau aku akan berteriak!" Aku mengancamnya seketika. Jujur saja, rasa takut mulai menyerang diri.

"Ayolah Aresha ... Aku menyayangimu."

Zen meliar, membuka tangannya dengan lebar. Seperti seorang ibu yang hendak memeluk anaknya dengan erat. Kakiku terus saja mundur perlahan. Menjauh darinya, meskipun ruangan ini tak begitu luas.

"Kau gila! Kau penculik Ibu! Kau biadab! Kau jahat! Aku membencimu!" pekikku tanpa ragu.

"Aku tak tahu apa-apa soal Ibumu! Dan seharusnya, kau bersyukur karena ada orang yang mau menyayangi gadis malang sepertimu."

"Tidaaakk!! Aku tidak sudi menerima kasih sayangmu. Kau itu jahat, Zen. Kau jahat!"

Praaang!!

Sebuah vas bunga keramik melayang tepat di bagian tengkuk Zen. Aku terkesiap dengan apa yang telah kulakukan. Darah segar keluar dari mulut dan hidungnya seketika. Zen terkapar. Pecahan-pecahan keramik itu berhamburan.
.
Keringat dingin menuruni pelipis. Aku menjatuhkan diri sembari mengguncang tubuh Zen. Memeriksa keadaannya, kalau-kalau dia tewas karena ulahku.
.
Argh!

Apa yang telah kuperbuat? Tak pernah sebelumnya seperti ini. Zen benar-benar tidak bergerak. Tapi aku masih bisa merasakan detak jantungnya.

"Ada apa ini?"

Dua orang pemuda--yang kuketahui rekan bisnis Zen--menerobos masuk ke dalam ruangan. Lidah ini terasa kelu, hingga aku hanya bergeming menyaksikan mereka berdua sibuk mengangkat Zen.

"Kau? Apa yang sudah kau lakukan padanya?" selidik salah seorang dari mereka yang memakai kemeja biru.

Aku masih bungkam. Entah apa yang mesti kukatakan. Karena aku sendiri tak sadar dengan apa yang telah dilakukan.

"Hey, gadis! Mengapa kau diam saja? Apa kau ingin membunuhnya?" bentak pemuda yang satunya, dengan mata merah menyala.

"Tidaak!! Aku tidak sejahat itu!" sergahku mendorong pemuda itu.

Dari ekor mata, aku bisa menebak jika mereka geram padaku. Tapi aku tak tahu apa yang harus dilakukan. Pergi dari tempat ini? Ck, itu hanya akan membuat mereka semakin mengira jika aku sengaja melakukan semuanya.

"Hey gadis gila! Kau mau ke mana?" pekik pemuda tadi, saat melihatku beranjak.

Aku tak memedulikan apa yang dikatakannya. Bergegas membereskan barang-barang dan berlalu meninggalkan ruangan berdarah itu.

Braaakk!!

***

Gemelatuk gigi mengisi seantero ruangan berukuran cukup besar ini. Lutut terasa sangat lemas, seolah tak bisa lagi menopang tubuh dengan segala bebannya.
.
Aku takut ... Sangat takut. Apa yang telah kulakukan pada Zen, kuakui itu sangatlah fatal. Bukan perkara mudah, saat aku harus memaafkan diri sendiri karena hal rendah itu.
.
Seluruh pikiran buruk tentangnya, kini tengah berputar-putar di kepala. Bagaimana? Seperti apa? Argh! Aku tak bisa berpikir apa-apa lagi. Pikiran sudah sangat keruh karena keadaan. Jika semuanya harus seperti ini, lebih baik aku mati saja.

***

"Kau gila! Tak seharusnya kau melakukan ini, Aresha!"

Sakti memakiku dengan begitu puasnya. Darah segar keluar dari pergelangan tangan. Beban yang kupikul selama ini, memaksaku untuk mengakhiri hidup. Seolah semua akan berakhir jika aku mati. Tapi kurasa, tidak.

"Untuk apa kau membawaku ke rumah sakit? Untuk apa? Bukankah kau sudah tak memedulikanku? Bukankah kau sudah tak menganggapku? Kau menghilang begitu saja, Sak!" Aku memberondong pertanyaan itu pada Sakti. Air mata menganak sungai, meluapkan segala perasaan kacau dalam hati.

Sakti bungkam. Wajahnya tertunduk seperti sedang merenungi sesuatu. Sedangkan aku, masih terisak di ranjang rumah sakit. Menyiapkan diri tentang kematian yang mungkin saja merenggutku saat ini.
.
Darah segar itu terus mengucur deras dari pergelangan. Sakti menggenggam tanganku meski pandangannya masih tak beranjak dari perenungan. Kulihat, penjuru matanya mulai basah. Meski samar-samar aku masih merasakan ketakutan yang teramat darinya.
.
Tak ada seorang pun yang ingin hidup seperti ini. Menjadi seorang gadis dengan segala masalah besarnya. Ketika gadis seusiaku berfoya-foya menghabiskan masa muda mereka, lain halnya denganku.
.
Masalah demi masalah seolah tak ingin absen untuk menghukumku. Belum selesai semua usaha untuk mendapatkan ibu lagi, kini aku harus menerima jika aku adalah seorang pembunuh.
.
Sakti memberitahuku, jika Zen koma. Kabar tak sedap sekaligus meluluh-lantahkan semua penilaian baik tentangku. Bukan hanya penilaian, tetapi nama baikku sekaligus.

"Aresha ... Maafkan atas sikapku selama ini. Aku tak pernah bermaksud untuk meninggalkanmu seorang diri," ujar Sakti, mengangkat wajahnya lagi.

"Tak seharusnya kau mengatakan hal itu pada gadis gila sepertiku. Lakukan saja apa yang ingin kau lakukan padaku. Karena hidupku sudah hancur."

"Maaf, saya harus memeriksa Nyonya Aresha."

Di tengah perbincanganku dengan Sakti, seorang dokter muda cantik, sudah berdiri di samping kiri. Sakti mengangguk dan melepaskan genggamannya dariku. Lantas, dia berlalu. Menyisakan cerita-cerita sedih yang belum usai.
.
Perlahan, dokter itu mengangkat tangan kiriku yang tak hentinya mengeluarkan darah. Rasa lemas seperti menguasaiku saat ini. Aku meringis, merasakan sakit yang teramat menusuk itu.
.
Dalam keadaan seperti ini, tiba-tiba wajah ibu berkelebat. Dia tertunduk sayu, menyaksikan gadis yang disayanginya telah sebodoh ini. Mencelakakan orang lain, hingga melakukan percobaan bunuh diri.
.
Air mata itu kembali menuruni pipi. Bukan waktu yang singkat, semenjak aku kehilangan ibu. Dan sampai saat ini--sejak melapor polisi--aku tak mendapati kabar apa pun.
.
Bu, jika memang kau baik-baik saja, setidaknya hubungi gadismu ini. Redam segala ketakutan, kesedihan dan kecemasan yang setiap saat selalu mengekang. Aku tahu, Dia menyayangimu dan akan selalu menjagamu. Tapi tidakkah kau merindukanku, Bu? Seperti aku yang selalu menangis setiap malam, hanya untuk meluruhkan rindu yang semakin merajai ini.

Gadis yang TerbelengguWhere stories live. Discover now