Zen dan Sakti

62 10 0
                                    

Setelah pertengkaran dengan Zen saat itu, aku memutuskan untuk menutup diri. Menjauhi orang-orang di sekitarku--termasuk Sakti. Bukan perkara mudah ketika gadis menyedihkan sepertiku harus mengalami semua ini.
.
Ayah, ibu dan kakak yang seharusnya ada bersamaku, kini hanya sebuah ilusi saja. Semangatku untuk melanjutkan hidup benar-benar tak lagi tersisa. Sejenak, aku berpikir untuk mengakhiri hidup saja. Meninggalkan dunia yang ramai dengan segala persoalannya.
.
Tapi, sepicik itukah seharusnya aku bertindak? Tidak. Aku kembali menampar kebodohanku dengan kepingan harapan tentang ibu. Tugasku belum usai. Meskipun ibu tak diketahui keberadaannya, namun aku yakin jika Dia akan selalu menjaga wanita terhebatku itu.
.
Bel rumah berbunyi berulang kali. Badanku terasa sakit, hingga aku memutuskan untuk mengabaikannya saja. Pikiranku langsung tertuju pada Sakti. Karena hanya dia yang akan selalu mencariku--selalu.

"Mengapa kau tak membuka pintunya, Aresha? Apa kau sakit?"

Sakti menghubungiku lewat sambungan telepon--seperti yang kuduga. Suara parau yang sengaja kusembunyikan pun sepertinya sia-sia. Buktinya, dia langsung menodong dengan pertanyaan itu.

"Aku baik-baik saja. Jangan datang dulu, Sak. Aku ingin sendiri," pintaku, sedikit menahan sakit karena lengan dan wajah yang masih lebam.

"Oh baiklah, aku tak akan mengganggumu. Tapi kau harus ingat jika kau masih mempunyai aku," kata Sakti, menutup teleponnya.

Aku sedikit terkesiap dengan kalimat terakhirnya itu. Kau masih mempunyai aku? Kata yang baru kali ini kudengar darinya. Ck, apa yang kupikirkan? Tak mungkin jika Sakti menaruh rasa yang lebih dari sekadar sahabat padaku. Mustahil!

***

Selama satu minggu ini, aku benar-benar tak keluar rumah. Rasa trauma karena sikap Zen masih membekas begitu dalam. Entah sampai kapan aku seperti ini. Terlepas darinya adalah hal yang sangat sulit. Karena aku masih memiliki kontrak kerja sekitar 1 tahun lagi.

"Bu, ini uangnya." Aku menyerahkan selembar uang 10 ribu pada seorang petugas apotik.

Alkohol ini sengaja kubeli agar luka-luka di wajah dan lenganku cepat sembuh. Aku tak berniat untuk memeriksakan diri ke dokter karena uang yang kupunya saat ini sangatlah minim. Hanya ada dua lembar uang 10 ribu dan uang recehan.
.
Huh! Hidupku semakin menyedihkan. Seandainya saja aku bisa memutar waktu untuk memperbaiki semuanya.

"Aresha ... Tunggu!"

Seseorang memanggil namaku dengan begitu jelas. Aku menghentikan langkah dan mencari tahu siapa yang memanggilku.

"Zen! Itu Zen!" kataku, saat aku menyadari jika suara itu berasal dari Zen.

Tanpa berpikir panjang, aku berlari menjauh dari Zen. Napasku tersengal-sengal seperti dikejar setan. Aku tak ingin bertemu dengannya lagi. Luka yang ditorehkannya belum mengering. Mungkin, tak akan pernah mengering sampai kapan pun.
.
Sial!
Langkahku terhenti karena tersandung batu. Lututku berdarah dan nyaris membuat kaki pun terasa lumpuh. Pasrah! Aku akan pasrah jika Zen mendatangiku dengan sikap kasarnya lagi.

"Mengapa kau lari dariku, Aresha?" Zen bersimpuh di sampingku.

"Zen? Untuk apa kau menemuiku lagi?" tanyaku ketakutan.

"Kau sakit? Wajahmu pucat," selidik Zen, mengamatiku.

"Aku tidak apa-apa."

"Kau bohong padaku, Re. Bagaimana mungkin kau baik-baik saja saat wajahmu menyedihkan seperti itu?" Zen kembali mengamatiku dengan lekat. Aku sedikit risih dengan tatapannya.

"Cepatlah sembuh." Tiba-tiba Zen memelukku. Mataku terbelalak melihat yang dilakukannya ini.

"Lepaskan! Apa-apaan kau ini, hah? Tidak tahu diri!" ejekku, memutuskan untuk berlalu darinya.

Tak ada sanggahan atau kalimat yang menyulut emosi darinya. Zen seolah tak memiliki dirinya sendiri. Dia sangat jauh berbeda dari seminggu yang lalu. Apa dia gila?

"Aku mengkhawatirkanmu, Aresha!" pekik Zen membuat jantung seperti akan lepas dari tempatnya.

***

Usahaku untuk lari dari Zen tak sia-sia. Akhirnya aku sampai di rumah. Merebahkan diri dan kembali menerawang perbincangan singkatku dengannya.
.
Zen mengatakan jika dia mengkhawatirkanku. Baru kali ini aku mendapatinya mengatakan hal semacam itu secara terang-terangan. Aneh! Dia sangat aneh sekali.

Brooom ... Brooom

Suara motor yang sudah tak asing itu menembus telinga. Membuatku mengakhiri penerawangan tentang perkataan Zen. Dari sofa dekat jendela, aku meliarkan pandangan ke arah pagar. Sakti datang dengan menenteng sesuatu.
.
"Resha ... Aresha ...," panggilnya, tanpa memencet bel seperti kemarin.

"Masuk saja," titahku berteriak.

Tak berapa lama, kepalanya menyembul dari balik pintu. Membuatku mengerutkan kening melihat sikapnya.
.
Sakti membidik lekat. Binar matanya yang teduh, membuatku tak bisa berkutik. Seluruh kata-kataku tercekat di tenggorokan. Sakti tersenyum sebelum akhirnya mengagetkanku dengan dehamannya.
.
"Bagaimana keadaanmu, Aresha?"

"Ba-baik."

"Kau gugup? Ya, kuakui ketampananku ini sering membuat setiap wanita gugup. Hm, sepertimu saat ini," ujar Sakti terkikik.

"Hei! Mengapa kau memuji dirimu sendiri seperti itu? Aku tak gugup. Tidak sama sekali! Itu hanya perasaanmu saja," kilahku, berdecak.

"Iya, 'kah? Kau berdecak hanya karena ingin menutupi kegugupanmu itu, 'kan?" Sakti menggoda dengan nada bicara yang menggelikan.

"Tidak! Ada apa kau ke sini? Aku 'kan sudah bilang, jangan menemuiku dulu," kataku, membelokkan arah pembicaraan.

"Aku ke sini untuk menemuimu. Mendengar suaramu dari telepon saat kemarin, membuatku tak tenang."

"Mengapa bisa?"

"Karena aku tak ingin melihat orang yang kusayangi tertatih sendiri menghadapi setiap masalahnya. Aku ingin selalu ada untukmu, Re."

Blaaar!!

Sesuatu yang tak keruan menembus celah hati. Membuat ludah mengering seketika mendengar dua orang yang kukenal tiba-tiba mengatakan hal yang sama.
.
Pada dasarnya, Zen dan Sakti adalah laki-laki yang baik. Mereka memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Untuk urusan kekurangan, aku tak bisa menghakimi dan memvonis apa-apa. Itu bukan hakku.
.
Tapi yang jelas, aku tak mengerti dengan rencana-Nya ini. Menggerakkan hati dan bibir kedua laki-laki itu untuk mengatakan hal yang sama padaku. Gadis yang tak jauh berbeda dari sebuah kapas yang hendak tenggelam. Ini gila!

Gadis yang TerbelengguWhere stories live. Discover now