Ketukan dan Jejak Sepatu

24 1 0
                                    

Bayang-bayang amplop bercak darah itu terus menghantuiku semalaman. Pukul sebelas, rasa kantuk seakan enggan menyapa untuk memberi ruang agar tubuhku bisa beristirahat. Kejadian yang tak terduga hari ini cukup membuatku banyak bertanya-tanya. Tak seperti biasanya Sakti bersikap keras semacam itu. Dia bukanlah tipe orang pemarah yang kutahu. Akan tetapi, mengapa kepribadiannya tiba-tiba berubah dengan cepat?
.
Tok ... tok

Ketukan pintu membuatku mengerjap. Memutar pandangan pada jam dinding di dekat lemari pakaian. Ini sudah terlalu larut untuk ibu masih terjaga. Entah apa yang terjadi, tapi tiba-tiba keringat dingin mulai menderas menuruni pelipis. Selimut cukup tebal ditarik menutupi setengah badan. Namun semakin lama, ketukan itu malah semakin keras.

"Bu? Apa Ibu belum tidur?" tanyaku memberanikan diri. Tidak ada jawaban. Saliva ditelan kasar seiring ketukan yang tak mau berhenti.

"Bu ...?" Sekali lagi aku mencoba memanggil ibu. Barangkali tadi ibu tidak mendengar suaraku.

Hening.
Suara tadi mendadak hilang. Jantungku berpacu di luar batas normal. Semenjak bertemu Sakti tadi, perasaan memang berubah menjadi tak keruan. Bagaimana bisa ini terjadi?

Drrtt ...

Ponsel yang disimpan di samping bantal bergetar. Nama Zein muncul di sana, menungguku untuk merespons panggilannya. Ada apa dia menghubungi malam-malam begini? Aku membatin sembari mengusap layar ponsel.

"Ya? Ada apa, Zein?" seruku tanpa basa-basi.

"Apa kau baik-baik saja?" Pertanyaan itu berhasil mengerutkan keningku.

"Ya, lumayan. Memangnya ada apa? Kau menghubungiku hanya untuk menanyakan hal itu?" Aku berdecak mengakhiri pertanyaan. Zein terdengar terkikik di sana.

"Aku mengkhawatirkanmu. Ya sudah, jika kau baik-baik saja. Selamat tidur."

Klik.
Layar ponsel kembali ke menu utama. Zein memutuskan sambungan telepon dengan kalimat begitu saja. Dia seolah-olah senang sekali membuatku kesal. Tunggu! Mengapa Zein tiba-tiba menelepon di saat suara ketukan itu hilang?

***

Aroma masakan ibu menguar membuatku terjaga. Akibat insomnia, jam tidurku jadi berantakan. Semalam aku baru benar-benar bisa tidur pukul dua dini hari. Saat-saat di mana kebanyakan orang tengah menikmati mimpi mereka tanpa merasakan kegugupan sepertiku semalam.

Aku menggeliat di atas tempat tidur. Mengecek ponsel barangkali ada yang menghubungi. Namun, nihil. Tak ada pemberitahuan apa-apa di sana. Hanya jam digital yang menunjukkan angka 07.30 WIB. Sudah cukup siang untuk bangun bagi seorang gadis sepertiku.

"Re, kau baru bangun rupanya." Ibu tersenyum mendapatiku duduk di tangga sembari menatap setengah mengantuk padanya.

"Aku tak bisa tidur semalaman, Bu. Ada yang mengetuk pintu kamar. Apa semalam Ibu membutuhkan sesuatu?" tanyaku, menenggelamkan kepala di bawah lipatan tangan. Jika tidak ingat seorang gadis, aku masih ingin tidur pulas di kamar.

"Mengetuk pintu? Semalam ibu tidak mengetuk pintu. Mungkin kau salah dengar," kata ibu begitu meyakinkan.

Huh. Aku mendesah kasar mendongakkan kepala. Berjalan menyusuri tangga dan mendapati jejak sepatu yang sudah mengering, "Bu, ini jejak sepatu siapa? Apa ada tamu pagi buta saat aku masih tertidur?"

Ibu menghentikan kegiatannya merapikan meja, "Jejak sepatu? Mana coba ibu lihat," serunya berjalan menghampiri tangga.

Kami sama-sama terdiam saat menyadari jejak sepatu itu tertinggal jelas pada tangga. Anehnya, hanya pada tangga kesatu hingga ketiga. Selanjutnya, jejak kaki yang sama tak terlihat lagi.

Brug!

Bunyi benda terjatuh berasal dari ruangan sebelah yang sudah menjadi gudang. Aku dan ibu saling pandang, lantas memutuskan menuju ruangan itu. Seseorang berlari cukup cepat keluar dari gudang. Dia memakai jaket hitam lengkap dengan tutup kepala persis seperti maling.

"Hei! Kau siapa? Hei, tunggu!" pekikku berusaha mengejarnya hingga ke jalan raya.

Sial! Aku kehilangan jejak orang itu di pertigaan. Napas terasa tersekat di tenggorokan saking cepatnya mengejar sosok misterius itu. Apa mungkin dia yang semalam mengetuk pintu kamarku? Namun ... siapa dia sesungguhnya? Pertanyaan semacam itulah yang menggelayut di pikiran.

"Hei, Nona! Akhirnya kita bertemu lagi."

Suara begitu familier terdengar dari arah samping. Sontak kepalaku memutar memastikan dugaan yang tebersit begitu saja di dalam hati. Ah, benar! Firasatku memang tak pernah salah dalam hal menerka pemilik suara.

"Mengapa kau berlari-lari seperti itu? Apakah tak ada pekerjaan lain yang lebih bermanfaat?" Dia menyeringai, menatap penuh dendam padaku.

"Mengapa kau ada di sini? Bukankah seharusnya kau di penjara?" balasku tak kalah sengit dengan memasang wajah menantang.

"Hei, apa kau lupa? Aku memiliki banyak uang. Keluar dari penjara adalah hal yang mudah bagiku." Nada bicaranya terdengar jemawa.

"Oh, begitu rupanya." Kepalaku mengangguk berusaha tidak terpengaruh pancingan emosi pagi ini.

"Apa kabar ibumu yang gila itu? Kudengar, dia sudah sembuh. Apa itu benar, Aresha?"

Dadaku terasa sesak saat dia mengungkit keadaan ibu tempo hari, "Kau tak perlu tahu itu!"

"Hei, santai. Jangan terbawa emosi. Aku datang untuk mengucapkan selamat karena kau telah dibodohi oleh laki-laki itu."

"Laki-laki? Siapa maksudmu?"

Belum sempat pertanyaanku mendapat jawaban, dia malah bergegas menuju mobil sedannya yang sudah menunggu sejak tadi. Miris sekali rasanya ketika hukuman bisa dibeli dengan uang. Perihal jejak sepatu dan ketukan itu, aku masih belum bisa menuduh siapa pun. Semoga saja itu tak membahayakan kehidupanku dan ibu. Ya, semoga.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 15, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Gadis yang TerbelengguWhere stories live. Discover now