Keputusan Terbesar

67 18 6
                                    

Tubuh yang terlalu lelah, kujatuhkan di atas ranjang. Menenggelamkan wajah pada bantal dan terisak semaunya. Beginilah keadaanku saat ini. Seluruh kekuatan seolah remuk redam karena nominal. Seandainya ayah tak pergi, mungkin ibu tak akan seperti ini. Dan seandainya kakak tak bunuh diri, mungkin aku tak akan sendiri.
.
Harus ke mana kulangkahkan kaki agar mendapat uang sebanyak itu dalam waktu seminggu? Semua tabungan yang kupunya telah habis. Dipakai untuk memenuhi kebutuhanku juga ibu di sana. Aku akan benar-benar gagal dalam seminggu ke depan.

"Sa-Sakti ...," ujarku melalui telepon. Aku memilih menghubungi Sakti di saat seperti ini. Karena aku percaya, jika dia bisa menenangkanku.

"Kau kenapa, Aresha?" tanya Sakti dengan suara khawatir. Baru kali ini aku mendengarnya memanggil nama dengan lengkap.

"Temui aku di rumah. Aku mohon ...," pintaku sesenggukan.

Tit!

Suara telepon mati. Aku melempar ponsel dan kembali tersedu di bawah bantal. Kepala ini seperti akan meledak mengingat nominal tadi. Aku mengerang, meluapkan seluruh amarah yang terendap dalam hati.

Apa aku terlalu tak tahu diri? Menginginkan kesembuhan untuk ibu, di saat kondisi keuanganku porak poranda seperti saat ini. Tapi ini untuk ibu! Orang yang selama ini selalu memberikan apa pun yang dimilikinya untukku.

"Aresha ... Aresha ... Kau baik-baik saja, 'kan?" pekik seseorang dari luar. Suara itu membangkitkanku untuk mengintipnya dari jendela.

"Reeesss ...!!! Kau tidak apa-apa?" pekiknya lagi, saat dia menyadari aku mengintipnya dari jendela.

"Jangan berteriak! Kau seperti orang gila. Masuk saja ke rumah," titahku melalui sambungan telepon.

Air mata yang masih tersisa di pipi, kuhapus sesaat. Mungkin nanti akan ada banyak air mata yang terjatuh--lagi. Tapi untuk saat ini, aku tak perlu menangis. Ada Sakti yang menemani kesulitanku.
.
Anak tangga itu kuinjak dengan lesu. Mata yang sembap, membuatku seperti seorang korban pengeroyokan. Kembali, kujatuhkan diri di sofa ruang depan. Sakti, dia sudah ada di sana. Menatapku penuh pertanyaan dan rasa heran.

"Apa?" Mataku memicing.

"Matamu ..," tunjuknya.

"Aku sudah menangis," jawabku santai.

"Me-na-ngis? Tapi nada bicaramu santai sekali," decak Sakti.

"Kalau aku tidak santai, nanti aku stres," timpalku masih santai seperti tadi.

"Oke, serius. Kau kenapa, Re?" Sakti mulai pada pokok pembicaraan.

"Ibuku, Sak." Ingatan ini kembali kuseret pada nominal sore tadi. Napas pun terasa sesak lagi.

"Kenapa?" Sakti mengelus bahuku. Aku menatapnya dalam, sebelum menceritakan apa yang terjadi.

"Ibu butuh dua puluh juta," kataku memulai cerita.

"Hah, dua puluh juta?" Sakti mengulangi pernyataanku seolah dia tidak percaya.

"Iya."

"Lalu, apa yang membuatmu menangis? Apa kau tak memiliki uangnya?" selidik Sakti.

"Ya, begitulah ... Bagaimana mungkin aku bisa mendapat uang sebanyak itu dalam waktu seminggu? Apakah dengan merampok Bank?" decakku.

"Ya ampun pemikiranmu kriminal, Re."

"Lantas?"

"Aku ada tabungan. Kau bisa memakainya dahulu," tawarnya. Lagi-lagi, Sakti berusaha membantuku. Ck, aku malu.

"Tidak usah, Sak. Kau sudah sering membantuku. Mungkin sudah saatnya Ibu pulang," tolakku secara halus.

"Tapi Ibumu belum sembuh total, Re."

Gadis yang TerbelengguWhere stories live. Discover now