Aku Tak Percaya

67 6 0
                                    

Meskipun suasana hatiku semakin memburuk, namun aku tetap memaksakan diri masuk kerja. Lebih tepatnya menjerumuskan diri dengan pekerjaan haram itu. Dan beberapa rekan bekerjaku telah duduk di ruangan masing-masing.
.
Ya, hari ini aku datang lebih terakhir dibandingkan dengan yang lain. Kujatuhkan diri di ruang kerja. Membuka komputer, lantas mengetik beberapa berita yang telah kudapatkan dua hari terakhir ini.

"Aresha?" panggil seseorang dari luar ruangan.

"Masuk!" titahku tanpa beranjak dan hanya mengangkat pantat sedikit.

Seorang pemuda berdiri tegap di depan pintu. Memakai kemeja kotak-kotak lengan pendek. Kacamata hitam menambah jumlah matanya. Aku terkesiap sesaat mengamati pemuda itu.

"Kau?" tunjukku bangkit dari kursi dan menghampirinya.

"Brengsek!"

Sebuah pukulan keras kudaratkan pada lengannya yang kekar. Dia meringis kesakitan. Namun tak ada rasa belas kasihan lagi di hatiku untuknya. Benci yang mengisi seluruh penjuru hati seolah tak memberiku celah sedikit pun untuk menyisakan maaf untuknya.

"Untuk apa kau menemuiku? Tak cukupkah selama ini kau telah merusak hidupku? Dan sekarang, kau mengambil Ibuku. Kau gila! Kau biadab! Kau jahat! Aku membencimu!"

"Apa yang kau katakan? Ibumu? Aku tak tahu apa-apa soal Ibumu. Kau salah sangka padaku!" bela pemuda itu.

"Sudahlah! Tak perlu berpura-pura di depanku lagi. Aku tahu betul siapa kau. Kembalikan Ibuku! Kembalikan!"

Aku menarik kerah baju yang dipakainya. Wajahnya berubah menjadi merah menyala. Sudah habis kesabaranku menghadapi makhluk itu. Seenaknya saja dia mempermainkan aku seperti sebuah boneka.

"Aresha dengarkan aku! Aku tak tahu apa-apa soal Ibumu! Aku menemuimu untuk meminta maaf. Percayalah padaku ...," kata pemuda itu, menggenggam tanganku.

"Jika kau ingin menghancurkanku, maka hancurkan aku! Jangan menyeret Ibu dalam persoalan pelik kita. Kumohon ...," tepisku memalingkan wajah darinya.
Zen terdiam. Wajahnya menunduk seperti sedang meratapi sesuatu.

"Kau keras kepala!" bentaknya tiba-tiba mendekat. Menyoroti wajah, lantas mencengkeram lenganku yang tertutup kemeja.

"Sa-kit! Lepaskan!" Aku meringis meminta Zen melepaskan cengkeramannya.

"Sakit katamu? Lebih sakit mana dibandingkan denganku? Dituduh melakukan pelarian terhadap Ibumu! Kau gila, Re?" Zen menyeringai tanpa mengalihkan tatapannya dariku.

"Pergi! Tinggalkan aku!"

Plaaakk!!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Membuatku sedikit terjungkal karena tamparan itu begitu tiba-tiba. Mata merah menyala masih terus ditujukan padaku.
.
Zen meludah--lagi-lagi--lantas tersenyum menyeringai. Napasku terasa sangat sesak karena menahan amarah. Kepala dingin sepertinya sudah tak berlaku dalam kondisi ini. Amarahku meletup melihat perlakuan rendahnya ini.

"Sakit?" cibir Zen tanpa rasa bersalah.

Seluruh kata-kataku seolah habis seketika. Penjuru mata terasa basah. Bagaimana mungkin aku menangis di saat seperti ini? Yang ada Zen akan terus meluapkan kemarahannya padaku. Melayangkan apa pun yang ada di hadapannya untuk menyerangku.

"Apa kau tak mempunyai hati? Apa Tuhan menciptakanmu tanpa rasa belas kasih?"

"Aku? Kau bertanya tentangku? Haha apa pedulimu tentangku, Re?" kekeh Zen menjatuhkan dirinya pada kursi di hadapanku.

"Kau idiot!"

"Berhenti memakiku seperti itu!" sergah Zen menggebrak meja. Aku terkesiap melihatnya yang masih saja dihiasi emosi.

***

Tak henti-hentinya aku meringis kesakitan. Kesekian kalinya ujung bibirku berdarah karena ulah Zen. Aku semakin tak mengerti dengan makhluk yang satu itu. Sebenarnya dia itu siapa? Bersikap baik hanya di saat awal pertemuan.
.
Sakti, dia tak tahu soal ini. Aku sengaja menyembunyikannya. Apa yang dikatakan Sakti tentang Zen memang benar adanya. Tapi aku tak bisa mengelak dari kenyataan.
.
Genap satu bulan aku tak mengetahui keberadaan ibu. Sakti yang selalu berusaha mencari ibu pun tak memiliki titik terang sama sekali. Apa yang mesti kulakukan sekarang?

"Kau gadis keras kepala. Terluka karena Zen, tapi kau masih mengatakan jika dia baik. Lantas, apa kata-katamu tentangnya masih sama setelah dia membawa Ibumu pergi?"

Sebuah suara membuatku mengerjapkan mata. Di ambang pintu, Sakti berdiri mengamati ke arahku. Sejak kapan dia ada di sana? Mengapa suara motornya tak terdengar?

"Sa-sakti?"

"Ya, ini aku. Mengapa kau gugup seperti itu? Apa aku membuatmu terkejut?" Sakti beringsut mendekatiku.

Tatapannya nanar, seperti ada rasa iba yang menaungi hatinya. Aku tak tahu harus menjelaskan apa perihal yang dilihatnya saat ini.

"Zen memukulmu lagi?" selidik Sakti. Aku menggeleng, berusaha menutupi semua kebenarannya.

"Mengapa kau selalu menutupi kelakuan buruknya itu? Kau menyukai laki-laki setengah waras itu, Aresha?" Mata Sakti menatap penuh tanya. Aku menundukkan wajah.

"Bukan seperti itu, Sak. Aku tak menyukai Zen. Tidak sama sekali," ujarku.

"Lantas ... Mengapa kau diam saja diperlakukan seperti ini, Re?"

"Jangan tanya soal itu. Kumohon," pintaku, mulai terisak.

Sakti menuruti permintaanku. Seketika dia bungkam dan memelukku. Air mata ini luruh begitu saja. Sakit yang merajam raga, tak ada apa-apanya dibandingkan dengan sakitnya kehilangan seorang ibu.
.
Ibu yang selalu kuperjuangkan kesembuhannya, masih saja tak bisa kutemukan. Kau di mana, Bu? Tak rindukah dengan gadismu yang payah ini?

***

"Kau harus menulis berita tentang keluarga Sakti. Laki-laki yang selalu menjadi malaikat kesianganmu itu," perintah Zen, sore itu.

"Sakti? Apa-apaan maksudmu? Mengapa tiba-tiba menyeretnya dalam lembaran berita bejad ini?"

"Aku membutuhkan pemasukan yang besar. Dan kurasa, jika menyebarkan berita tentang kemalangan si Sakti, itu bisa mempercepat pertambahan nilai rupiah dalam rekeningku," jelas Zen tanpa ragu.

"Aku tak mau! Itu sama saja aku membuka aib sahabatku sendiri!" tolakku tanpa berpikir panjang.

"Kau berani menolak permintaanku?" bentak Zen. Aku mengangguk cepat.

"Cukup, Zen. Jangan memperalatku seperti ini. Aku sudah tak sekuat dulu, aku sudah kehilangan semuanya bahkan Ibuku sekaligus," kataku, bersimpuh di hadapannya.

"Jangan merayuku dengan tangisan murahanmu, Re." Tangannya kembali mencengkeramku.

Jantung ini terasa berdegup lebih cepat. Aku takut kejadian tempo hari terulang lagi. Babak belur karena ditampar Zen, sudah tak asing. Tapi jika dia melakukan hal yang lebih gila, bagaimana?

"Jujur padaku, Zen. Kau telah membawa Ibuku pergi, bukan? Mengapa kau begitu tega?" Aku memberanikan diri menatap wajahnya.

"Harus berapa kali kukatakan, Re? Aku tak tahu soal itu! Aku biadab, aku jahat, tapi aku tak mungkin bertingkah sejauh itu! Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan seorang Ibu," kata Zen dengan nada bicara lebih rendah dibandingkan sebelumnya.

"Kau bohong, Zen! Kau bohong padaku!"

"Tidak, aku tak berbohong. Percayalah ...."

"Bagaimana mungkin aku bisa percaya pada orang yang telah melukaiku? Bukan hanya hati yang kau lukai, tapi juga ragaku. Lihat aku, Zen! Lihat!"

Tubuh Zen kuguncang dengan kuat. Aku benar-benar tak bisa memercayai apa yang dikatakannya. Karena aku sangat yakin, jika Zen adalah pelakunya. Orang yang telah membawa lari ibuku.

Gadis yang TerbelengguWhere stories live. Discover now