Ibu, Kau Kembali?

44 5 2
                                    

"Dia adalah apa? Ayo katakan padaku!" sergahku masih mencoba menahan emosi.

"Dia keponakan manajer restoran tempat kita bekerja itu. Manajer ingin menghancurkan hidupmu, Re."

Tak ada kata-kata yang bisa kuutarakan. Sungguh tak masuk akal! Apa yang dikatakan Sakti terlalu sulit kuterima.

"Menghancurkan hidupku? Apa urusannya? Aku dan manajer baru mengenal akhir-akhir ini. Itu pun karena aku bekerja di restoran miliknya."

"Ah! Kau tak paham maksudku, Re," eluh Sakti.

"Jangan berbohong seperti itu!" cegahku dengan tak henti memerhatikan matanya.

"Dia tidak bohong, Re. Apa yang dikatakan Sakti itu kenyataannya. Manajer tempatmu bekerja adalah orang yang dahulu pernah menjalin hubungan dengan ibu. Namun, saat mendiang Ayahmu datang, ibu lebih memilih Ayah. Sejak saat itu, manajermu tak pernah berhenti menyelidiki keluarga kita. Dia ingin membalaskan rasa sakit di hatinya. Ya, dia ingin menghancurkanmu. Anak ibu satu-satunya."

Sebuah suara dengan penjelasan panjang itu membuatku bergeming. Tiba-tiba saja seorang wanita paruh baya—mirip ibu—datang dengan pernyataan semacam itu.

"Ka-kau, Ibu?" tanyaku gelagapan. Keringat mulai menuruni pelipis. Rasa hati sangat tak keruan. Bukankah ibu hilang?

"Ya, ini ibu, Nak. Bagaimana kabarmu? Selama ini, Sakti merawat ibu dengan sangat baik. Awalnya ibu takut padanya karena tak pernah mengenalnya sama sekali. Tapi saat dia mengatakan bagaimana sulitnya kehidupanmu, ibu menjadi yakin jika Sakti adalah orang baik. Dia menyayangimu, juga ibu."

"Aku baik-baik saja, Bu." Sigap, kujatuhkan diri di pelukan ibu. Sudah sangat lama aku tak merasakan hangatnya pelukan orang terhebatku ini. Seluruh amarah pada Sakti meluruh seketika.

"Nyonya Aresha, waktu Anda sudah habis." Tiba-tiba seorang petugas polisi mencengkeram lengan dan menyuruhku masuk sel.

"Lima menit lagi, Pak. Kumohon ... Aku merindukan Ibu," rengekku memelas. Penjuru mata sepertinya sudah basah. Tak tahan menahan haru, melihat ibu sembuh. Meski mungkin belum sepenuhnya.

"Kau tak perlu mengkhawatirkan ibumu, Re. Aku akan menjaganya seperti ibuku sendiri. Ingat satu hal, Aresha. Semua ini kulakukan hanya untuk kebaikanmu. Sekalipun setelah ini kau akan membenci kebohonganku, aku terima," kata Sakti, menundukkan wajahnya.

"Aku terpaksa membawa ibumu lari bukan untuk menghukum hidupmu. Tidak, Aresha. Aku ingin membantumu, meringankan segala beban yang terlalu banyak itu. Dan untuk menjebloskanmu ke tempat ini, itu adalah cara agar aku lebih leluasa mengobati ibumu tanpa perlu takut kau mengetahui semuanya dengan cepat."

Sakti berdiri, menggenggam tanganku. Sungguh ... Berat rasanya mengetahui semuanya. Seperti mati di dalam tempat terhina ini.

"Kau harus menjelaskan semuanya secara rinci padaku," tandasku.

"Ya, akan kulakukan setelah kau bebas. Baik-baiklah di sini," ujar Sakti masih menggenggam tanganku.

"Bu, jaga diri baik-baik. Ikuti apa kata Sakti. Meskipun aku kecewa padanya, tapi aku yakin jika Ibu bisa sembuh dengan bantuan Sakti."

Wanita senjaku itu membidik nanar. Raut wajahnya yang semakin tua, kulit keringnya, dan rambutnya yang semakin menipis, membuatku tak ingin beranjak dari hadapannya.

***

Entah berapa banyak air mata yang sudah terjatuh karena mengingat kejadian tadi sore. Sakti datang bersama ibu dengan membawa kabar yang tak bisa kupahami. Manajer restoran adalah mantan kekasih ibu. Dan ... Dia memperalat Zen untuk menyakitiku. Ya, Zen yang hilang seolah tertelan bumi.
.
Semuanya semakin rumit saat aku mengetahui jika Sakti adalah dalang dari kejadian beruntun; ibu menghilang, aku dipenjara. Argh!
.
Bagaimana caranya aku bisa keluar dari sini? Aku ingin merasakan hangatnya dekapan ibu, menyelesaikan tugas yang belum sepenuhnya kupenuhi, dan yang terpenting, aku ingin mengetahui semuanya secara gamblang. Terlebih, perihal keberadaan Zen saat ini.

***

"Pak, apakah tak ada keringanan untukku?" Rasa penasaran itu membuatku bertanya pada petugas kepolisian yang berjaga.

"Kau ingin bebas, Nona? Tunggu sampai esok hari," titah laki-laki paruh baya itu.

"Memangnya, ada apa dengan esok hari?" Aku memainkan gigi. Mencoba memahami maksud dari perkataannya tadi.

"Besok adalah hari persidanganmu. Jadi, persiapkan diri sebaik mungkin. Hm, apa kau sudah memiliki seorang pengacara?" selidiknya, dengan mata mendelik. Aku menggeleng.

Sidang? Pengacara? Apa serumit ini, menjalani hidup sebagai seorang tahanan? Ck, aku tak memiliki seorang pengacara. Jangankan untuk hal itu. Untuk menghadapi persidangan yang dikatakannya saja aku tak mengerti.
.
Ibu ... Mengapa aku harus seperti ini? Tak adakah kebahagiaan sedikit saja menyambangiku? Bantu aku, Bu ...
.
"Kau melamun?"

Dia mengagetkanku dengan pertanyaannya. Aku terkesiap dan jujur saja, gelagapan.

"Apa harus rumit? Apa tak bisa langsung dibebaskan? Aku 'kan tidak bersalah!" tandasku.

"Dasar anak muda! Kau selalu menganggap semuanya sepele. Padahal, tak semua hal yang ada di dunia ini bisa kau sepelekan. Contohnya saat ini. Kau mendekam di balik sel, tanpa ada seorang pun yang peduli dengan keadaanmu." Orang itu menceracau tak keruan. Sesekali dia berdecak seperti jijik melihat ke arahku.

Sial! Selalu saja tatapan-tatapan sinis ditujukan untukku. Apa yang salah denganku? Tak adakah yang normal dan bisa memahami apa yang kurasakan?

Gadis yang TerbelengguTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon