Kembali Pulang

72 14 12
                                    

Setelah melakukan 'negoisasi' dengan pihak rumah sakit, akhirnya aku bisa membawa ibu pulang. Sekitar jam satu siang, kami tiba di rumah.
.
Sakti masih saja menemaniku, dengan seragam dokter yang disewanya dari sebuah butik. Seluruh ucapan terima kasih seolah tertumpah padanya. Ah ... Aku tak tahu harus mengatakan apa lagi.

"Apa yang akan kau lakukan setelah ini?" Sakti masih mendorong kursi roda ibu ke dalam rumah. Karena aku sibuk dengan barang-barang bawaan.

"Entah," kataku singkat.

Jujur saja, aku belum memikirkan apa yang akan dilakukan setelah ini. Yang pasti, aku akan keluar dari tempat bekerjaku--restoran dan warung Bu Tinah.

"Pikirkan baik-baik apa yang akan kau lakukan setelah ini. Jangan lupa tujuanmu untuk menyembuhkan Ibu," ingat Sakti masih memegang kursi roda.

Dari mata ibu, aku melihat ada binar-binar kebahagiaan. Mungkin karena sudah hampir 4 tahun lamanya dia tak menginjakkan kaki di sini. Rumah yang menjadi saksi bisu segala hal yang terjadi di dalam keluargaku.
.
Sakti menyandarkan tubuhnya di sofa. Sedangkan ibu, aku mengajaknya mengganti pakaian. Rambut panjang yang disisir rapi saat di rumah sakit tadi, masih memancarkan kecantikan ibu seperti dahulu.
.
Ibu memang senang berdandan. Setiap satu bulan sekali, dia mengajakku turut serta bersamanya ke salon. Walau hanya sekadar creambath. Begitu bahagianya kehidupanku dahulu.

"Re?" panggil ibu.

"Iya, Bu? Apa Ibu mau sesuatu?" tanyaku bersimpuh di hadapannya.

"Tidak. Ayah mana, Re?" Lagi-lagi, pertanyaan itu menembus telingaku. Sedalam ini ibu merasa terpukul karena kepergian ayah.

"Kapan Ayah dan Kakakmu pulang?" lanjutnya masih mengenai orang-orang terkasih itu.

"Sebentar lagi, Bu."

Aku terpaksa membohongi ibu agar dia merasa tenang. Meskipun aku tak tahu sampai kapan harus menutupi kenyataan yang sebenarnya.

"Re, aku pulang dulu ya. Ibuku sudah menghubungi." Tiba-tiba Sakti sudah berdiri di belakangku.

"Tante, cepet sembuh." Sakti bersimpuh di hadapan ibu, tapi tak ada respon apa-apa untuknya.

Tatapan ibu hanya tertuju ke luar jendela. Seperti sedang menerawang sesuatu yang tak kupahami. Lantas, mata hitam Sakti membidik ke arahku. Aku tersenyum simpul melihat ekspresinya.

***

Beberapa dus berukuran besar diturunkan dari mobil truk. Sekarang, aku sudah resmi keluar dari pekerjaanku. Dan dus-dus besar yang diantar oleh truk itu adalah pekerjaan baruku.
.
Bukan seorang kuli panggul atau pengepul barang bekas. Melainkan, seorang pemilik kios kecil. Ya, pesangon yang didapatkan dari restoran, kugunakan untuk membeli barang-barang ini. Sisanya, ditabungkan untuk bekal hidup bersama ibu.
.
Satu per satu isi dari dus-dus itu dikeluarkan. Kemudian, aku menatanya dengan rapi pada sebuah etalase bekas yang kudapatkan dari teman Sakti.
.
Tak ada hujan yang akan selamanya jatuh ke bumi. Begitu pun dengan kesulitan. Tak akan selamanya kesulitan itu datang dalam sebuah kehidupan. Semua ada masanya, dan ada pengaturnya.
.
"Kau jadi penjaga kios?"

Suara dengan nada seperti mencibir itu menghentikan kegiatanku. Aku melirik ke belakang dan mendapati seorang pemuda--cukup tampan--tengah berdiri memerhatikanku.

"Zen?"

Mata ini seolah terbuka lebar saat menyadari siapa yang datang dengan suara mencibir itu. Zen, seorang pemuda yang kukenal di restoran tempo hari kini tengah berdiri tegap di belakang.

"Lama tidak bertemu," kata Zen. Lantas, dia duduk pada kursi kayu di samping jendela. Dari caranya duduk, aku sudah bisa menebak seperti apa watak asli pemuda itu.
.
Awalnya, aku mengira jika dia berhati malaikat. Tapi sepertinya saat ini, perkiraanku akan meleset. Hm ... Entahlah, kita lihat saja nanti.

Gadis yang TerbelengguWhere stories live. Discover now