Penelepon Rahasia

40 7 0
                                    

Sakti terus saja menungguku di rumah sakit. Perhatiannya begitu besar, hingga dia meninggalkan pekerjaannya--untuk sementara waktu--di restoran.
.
Setiap hari, dia tak pernah absen menyuapiku bubur, mengganti perban, hingga membuatku tersenyum. Ah ... Sudah lama aku tak merasakan diperhatikan seperti ini. Hidupku terlalu rumit, hingga aku lupa rasanya mengecap bahagia itu seperti apa.
.
"Makanlah yang banyak, agar kau lekas sembuh, Re." Sakti menyunggingkan senyumnya sembari menyuapiku.

"Aku sudah sembuh. Tak perlu mengkhawatirkanku lagi, Sak. Pergilah ke tempat kerja," kataku, mengambil alih mangkuk yang sedari tadi dipegangnya.

"Jangan keras kepala. Aku tahu, kau masih sakit, Re. Sekali ini saja, biarkan aku menjagamu," pinta Sakti, dengan mata berbinar-binar.

Aku tak kuasa untuk menolak tatapan hangat itu. Sampai pada akhirnya, aku mengiyakan apa yang dikatakan Sakti. Membiarkannya menemani di sini, hingga kesehatanku benar-benar pulih.

"Kau sudah makan?"

Sakti menggeleng.

"Makanlah dulu," titahku karena tak ingin melihatnya sakit. Tak ada sahutan apa-apa dari Sakti. Dia kembali menyuapi dan membantuku meminum obat.

Rasa sakit di pergelangan, berangsur hilang. Ada sedikit penyesalan yang bertengger di hati. Tentang yang telah kulakukan ini.
.
Setiap kali Sakti pamit pulang, aku selalu menangis. Bukan karena tak ingin ditinggalkan olehnya. Tetapi, aku rindu kehidupan yang dulu. Kehidupan yang dipenuhi kasih dan sayang serta kebahagiaan.
.
Andaikan saja kakak bisa berpikir waras, mungkin dia ada di sini hingga detik ini. Membantuku memapah kehidupan untuk menyembuhkan ibu. Namun, kini tugasku bukan hanya itu. Akan tetapi, menemukan sang wanita hebat yang hilang begitu saja.

***

Dua hari yang lalu, dokter telah mengizinkanku pulang. Dengan semringah, aku menyambut masa kepulangan itu. Menata semangat dari awal lagi, dengan gelar seorang pengangguran.
.
Napas berat mengembus saat aku berdiri di depan sebuah tempat makan cukup megah. Sudah lama aku tak menginjakkan kaki di tempat ini. Terakhir kali aku ke sini, sekitar dua tahun yang lalu. Bertepatan saat awal bertemu dengan Zen.
.
Rencanaku sudah mantap. Aku akan mencoba melamar kerja kembali di restoran ini. Menjadi seorang pelayan restoran, meski gaji tak seberapa, tapi setidaknya hidupku jauh dari kebohongan.
.
Beberapa kursi berderet dengan rapi. Para pekerja yang kulihat sedang sibuk menata hidangan, seperti tak menyadari kedatanganku.

"Selamat pagi." Aku menyapa sang manajer dengan mengembangkan senyum.

Laki-laki paruh baya itu memutar tatapannya padaku. Mengamati dari atas ke bawah, hingga kembali ke atas lagi. Seperti ada yang salah dengan penampilanku saat ini.

"Aresha?" Dia memanggilku dengan mengerutkan keningnya.

"Ya, ini aku, Pak."

"Ada apa kau ke sini? Bukankah kau bilang sudah mendapatkan pekerjaan lain?" selidiknya masih dengan tatapan sedikit sinis

"A-aku ingin bekerja di sini lagi, Pak. Bo-boleh?" Nada bicaraku terdengar sangat gugup. Aku berusaha menghilangkan rasa gugup itu dengan mengepalkan tangan.

Tak ada respons apa-apa perihal pertanyaanku itu. Dia meliarkan pandangan ke seluruh penjuru restoran. Membuat jantungku berdegup tak keruan dengan apa yang akan dikatakannya setelah ini.
.
Jika aku tak bisa bekerja lagi di tempat ini, mungkin aku akan kembali membuka toko kecil di rumah seperti dulu. Tak ada jalan lagi, memang.

"Aku dengar, kau telah mencelakakan atasanmu di tempat kerja. Benar, begitu?"

Aku terkesiap dengan pertanyaannya. Dari mana dia tahu jika Zen celaka karena ulahku? Ck.

Gadis yang TerbelengguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang