Aku Tak Sendiri

117 18 2
                                    

Dari sejak dibuka jam 8 pagi tadi, hingga saat ini sudah memasuki jam makan siang, pengunjung restoran begitu ramai. Seluruh pelayan dituntut bekerja ekstra dalam situasi ini. Begitu pun denganku. Mencatat menu, memberikan pesanan, harus dilakukan dengan teliti. Jangan sampai ada pesanan yang salah atau tertukar. Karena jika itu terjadi, sama saja dengan bunuh diri.
.
Restoran ini dikenal luas di kalangan orang-orang dengan tingkat ekonomi yang berlimpah. Ck, aku jadi ingat keadaan hidupku yang dulu. Ayah yang pekerjaannya seorang pengacara, membuat keluarga kecil kami sering singgah di beberapa restoran ternama, seperti restoran ini.
.
"Sak, apa kau masih marah?" tanyaku pada Sakti di sela-sela menunggu pesanan selesai dimasak.

"Tidak," ujar Sakti dengan nada bicara yang tak seperti biasanya.

"Lantas, semalam kau kenapa? Sikapmu tiba-tiba berbeda." Aku masih mencoba mencari kebenaran tentang apa yang dikatakannya.

"Sudah kubilang, aku tidak apa-apa. Mengapa kau begitu rewel dengan sikapku?" jawab Sakti ketus. Lantas berlalu meninggalkanku dengan membawa pesanan ke meja pengunjung.

Aku menghela napas dan memerhatikan punggungnya dari kejauhan. Sebenarnya apa yang tengah terjadi pada orang itu? Mengapa dia bersikap so misterius? Cih!

***

Aku tiba di rumah sakit sekitar jam 3 sore. Hari ini, jam kerjaku lebih pendek. Mungkin karena seharian tadi sudah banyak pengunjung, jadi seluruh pekerja dipulangkan lebih cepat dari biasanya.
.
Langkahku masih diiringi sepi. Aku memasuki pelataran rumah sakit, menaiki anak tangga menuju ruang perawatan ibu di lantai 2.
.
Sebelum ke sini, aku sudah terlebih dulu menelepon pihak rumah sakit--menanyakan keadaan ibu. Kalau-kalau dia tak boleh dijenguk sementara waktu seperti beberapa waktu yang lalu.

"Selamat sore, Bu. Aresha datang."

Di depan sebuah jendela yang dipasang besi-besi kuat, ibu duduk seorang diri. Rambutnya lebih rapi dibanding biasanya. Dia melirik ke arahku yang masih berdiri di ambang pintu.

"Bagaimana keadaanmu sekarang, Bu? Cepatlah sembuh ... Agar kau bisa kembali ke rumah bersamaku." Aku bersimpuh di hadapannya. Mencium tangannya yang kering, karena terlalu banyak asupan obat.
.
Ibu tak menyeru. Tatapannya terus membidik ke luar jendela. Entah apa yang sedang dilihatnya. Mungkin, ibu menerawang masa-masa bahagia dulu dengan ayah. Karena sesekali, dia tersenyum kemudian terisak.

"Bu?" panggilku, menyentuh pipinya.

"Ayahmu mana, Re? Ayah mana?!" tanya Ibu. Aku bergeming memikirkan jawaban yang akan diberikan. Karena jika aku mengatakan yang sebenarnya, ibu akan mengamuk lagi.

"Kita keluar yuk!" ajakku, memutar kursi roda. Sebenarnya ini adalah pengalihan arah pembicaraan seputar ayah. Aku tak bisa menjawab pertanyaan ibu tadi. Terlalu sulit.

Untungnya, suster yang selalu merawat ibu mengizinkanku untuk membawanya keluar. Jalan-jalan di sekitar rumah sakit, walau sekadar menghirup udara sore.
.
Kursi roda itu kuhentikan di depan air mancur. Wajah ibu terlihat berseri-seri melihat indahnya air mancur di sini. Memang, dia sangat menyukai air mancur. Beberapa kali kami sempat berfoto di sekitar arena liburan bertema seperti ini.

"Ayah ke mana, Re? Apa dia sudah makan? Kasih ini untuk Ayah, Re," ujar ibu menyerahkan boneka beruang kecil padaku.

Lagi-lagi, ibu bertanya perihal ayah. Lidahku kelu tak bisa mengatakan apa-apa, hingga kuputuskan untuk menundukkan wajah--menahan tangis di hadapannya.
.
Sejumput asa masih mengisi nuraniku tentang kesembuhan ibu. Walaupun kondisinya masih saja seperti ini. Tapi, tak ada salahnya jika aku terus berharap.

"Nanti Aresha belikan Ayah makan. Sekarang, biar Ibu dahulu yang makan, ya ...," kataku, mulai menyuapi ibu tanpa ada penolakan darinya.
.
Air mata yang kutahan selama ini, ternyata memenangkan pertempuran. Dia terjatuh begitu deras saat aku menyuapi ibu. Wanita yang keadaannya begitu memprihatinkan. Sampai kapankah hidupnya akan seperti ini? Dihabiskan di sini, dengan bayang-bayang ayah yang selalu memenuhi kepalanya.
.
Beberapa suapan terakhir, ibu menepis. Dia menggeleng dan kemudian menangis terisak. Aku memeluknya, memberi ketenangan pada jiwa yang terguncang. Meskipun ibu gila, tapi aku percaya hati nuraninya masih sehat seperti biasa.

"Bu ... Jangan aeperti ini," pintaku berbisik.

Tangisannya terus menjadi hingga kuputuskan untuk memanggil dokter. Aku tak bisa mengatasi ibu seorang diri--kembali histeris. Berteriak, mengerang, dan terisak.
.
Bertahanlah, Bu ... Aresha tahu ibu pasti bisa. Ibu wanita kuat, ibu kuat ... Hatiku melangitkan harapan sederhana itu.

***

Mataku sembap sisa menangis di rumah sakit tadi. Darah yang keluar dari tangan kiri disebabkan cakaran ibu. Dia benar-benar tak bisa dikendalikan. Hingga dokter memutuskan untuk membiusnya.
.
Hati ini terlalu sakit saat melihatnya terkulai tak berdaya. Berulang kali kuseka air mata dan mencoba menguatkan ibu. Boneka beruang kecil yang diberikannya tadi, kubawa pulang. Aku sengaja membawa boneka itu pulang, dengan harapan ibu bisa melupakan kejadian memilukan tentang ayah.
.
Boneka beruang kecil adalah pemberian ayah untuk ibu di hari pertama ayah resmi bekerja sebagai pengacara. Pun, boneka yang menjadi saksi bisu saat sahabat ayah menaburkan racun pada minuman ayah saat itu.
.
Lucu, memang. Ayah memilih memberikan boneka dibanding perhiasan atau barang mewah lainnya. Karena bagi ayah, yang terpenting adalah ketulusannya, bukan seberapa mahal harganya.

"Kau kuat, Re. Lebih kuat dibanding aku."

Sebuah suara melengking ke arahku. Aku membalikkan badan dan mendapati Sakti sudah berdiri di depan pagar. Dia kembali menemui dan membuka percakapan denganku lagi.
.
Bunyi motor besarnya tak kudengar sama sekali. Aku membekap mulut menahan tangis. Cih! Keadaan seperti ini lebih membuatku terlihat cengeng. Tapi aku tak bisa menepis haru di dalam hati. Setidaknya, di saat aku sedih dan terisak, ada orang yang rela mendengar tangisanku.
.
"Maafkan sikapku kemarin, Re. Aku tahu, aku salah. Dan tak seharusnya bersikap seperti itu padamu." Sakti mendekatiku. Mata cokelat yang dimilikinya membidik tajam dan penuh keteduhan. Aku tak kuasa membalas tatapannya.
.
"Aku cape, Sak. Hidup ini terlalu jahat!" tandasku menutup wajah. Kurasakan tangannya yang hangat mendekapku.
Ya, Sakti memeluk di saat aku kembali menangis.
.
Tangannya yang halus menepiskan tangan yang kubuat menutupi wajah. Lantas, dia menghapus air mata kelelahan ini. Aku masih tak bisa menatapnya.
.
"Buka matamu. Lihat dunia yang ramai ini! Kau tidak sendiri, Re. Ada aku di sini," seru Sakti memekik.
.
Perlahan, aku membuka mata. Memang, dunia ini ramai. Tapi tidak dengan hatiku. Seluruh kesepian seolah menjerat. Aku lupa kapan terakhir kali aku tertawa lepas atau hanya sekadar tersenyum tanpa beban.

"Lihat aku, Re! Kita sahabat dan akan selalu menjadi sahabat. Jangan pernah merasa sendirian, karena aku ada untukmu."

"Terima kasih untuk semuanya, Sak," kataku, sendu.

Malam ini memang terasa begitu menyedihkan jika dibandingkan dengan malam-malam sebelumnya. Tapi aku tak akan membiarkan kesedihan terus membuntuti setiap hela napas kehidupan.
.
Benar kata Sakti! Aku tak sendiri. Ada dia yang mungkin akan selalu ada untukku. Menjadi pendengar segala kisah memilukan tentang kehidupan.
.
Dunia ini ramai dan akan selalu ramai. Aku tak bisa menepis semua takdir yang digariskan untukku, juga ibu. Apa pun yang terjadi, semua ini kehendak-Nya. Sang pemilik kehidupan yang lebih mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-hamba-Nya. Aku memercayai itu.
.
Meski harus berulang kali terjatuh karena hidup, tapi semua ini adalah catatan yang tak bisa ditawar lagi. Hidupku, ayah, ibu, dan kakak adalah bagian dari kasih sayang-Nya. Dan aku tak bisa menolak apa pun. Ya, karena aku tak sendiri.

Gadis yang TerbelengguWhere stories live. Discover now