Tak Bisa Dipaksakan

30 8 2
                                    

Tiga bulan sudah aku keluar dari tempat itu. Menghirup udara bebas, seperti sebelumnya. Kebebasanku semakin terasa lengkap dengan kehadiran ibu yang sudah berangsur sembuh. Ah, semua karena Sakti.
.
Mengenai Sakti, sejak pertemuan tempo hari di penjara itu, kami tak lagi saling bertemu. Padahal banyak jawaban yang ingin kudapatkan darinya. Terutama perihal alasan yang jelas saat dia memutuskan menculik ibu. Seperti seseorang yang kehabisan akal.
.
"Bu, kapan terakhir bertemu Sakti?" tanyaku, saat kami sedang memasak. Kegiatan yang selalu kurindukan selama ibu gila dan hilang dibawa orang.

"Satu bulan yang lalu. Dia menitipkan sesuatu untukmu, Re." Ibu beranjak ke arah kamar. Sedangkan aku masih sibuk mengiris sayuran.

"Ini."

Sebuah surat diberikan oleh ibu. Amplopnya berwarna putih, tanpa ada tulisan apa pun. Bersih. Hanya saja, terlihat sedikit ada debu. Maklum, surat itu sudah dimakan waktu.

Aresha,
Apa kabarmu? Kuharap kau baik-baik saja. Hidupmu sudah normal kembali, bukan? Meski kau dipenjara, tapi hati dan semangatmu tak mati begitu saja. Kau hebat, Re! Melewati semua ujian yang Tuhan berikan.

Re, bolehkah aku mengatakan kejujuran?
Saat kau membaca yang tertulis di surat ini, aku sudah tak ada di Bandung. Pergi meninggalkan semua kesalahan yang sudah kulakukan padamu. Maaf, aku tak bermaksud lari dari sebuah tanggung jawab. Aku akan menebus semua kesalahan fatal yang telah diperbuat.

Aku menyayangimu melebihi seorang sahabat. Semua kulakukan demi membuatmu berhenti menangis. Aku kalut, saat kau nyaris berhenti berjuang mengetahui biaya perawatan ibumu yang membengkak. Sejak saat itu, aku mulai merencanakan semuanya. Membawa ibumu lari, memasukkanmu ke penjara, dan beberapa hal lain yang belakangan ini terjadi padamu.

Sekali lagi, maafkan aku. Sikapku memang payah dan bodoh. Namun percayalah ... Aku melakukan semua itu demi kebahagiaanmu. Kau begitu membutuhkan sosok ibu. Karena bersamanya, kau akan menjadi Aresha yang lebih kuat dan hebat. Itu pasti. Aku percaya padamu.

Jaga dirimu baik-baik. Jika kau merindukanku, singgahlah di rumah sederhanaku. Aku akan kembali dari pelarian. Menyentuh ragamu lagi, seperti dulu saat kita sama-sama bekerja di restoran. Re, Zen Amar sudah kembali. Berhati-hatilah selama aku tak di sampingmu.

Salam,
Sakti Gridaya.

Deg!

Ada sesuatu yang menghunjam tepat di hati. Sakti pergi? Ke mana? Mengapa dia melakukannya? Argh! Selalu saja ada persoalan lain saat aku merasa hidup ini baik-baik saja.

"Sakti pergi, Bu." Suaraku gemetar, menahan tangis.

"Pergi? Mengapa dia tak berpamitan dahulu?" Tangan ibu merangkulku yang sudah siap menangis.

Antara kesal dan sedih, kini membaur di dalam hati. Selepas aku keluar dari penjara, kukira semuanya akan tambah lebih baik. Tapi ternyata itu hanya sebuah perkiraan yang tak akan ada habisnya. Dan Zen? Dia kembali? Aku ingin menemuinya.

***

"Apa saya bisa bertemu dengan Zen?"

"Anda siapa, ya? Apakah sudah membuat janji terlebih dahulu?"

"Em, belum. Tapi aku temannya."

Satpam itu menyapu pandangan ke arahku dengan lekat. Matanya mendelik seperti sedang melihat seorang buronan. Berulang kali aku menggaruk hidung karena bingung—kebiasaan lama saat bingung atau ketakutan.

"Aresha? Kau di sini?"

Tiba-tiba seorang laki-laki dengan badan kekar, membuatku terkesiap dengan kedatangannya. Wajahnya terlihat sedikit lebam. Senyumnya? Ck, masih sama seperti dulu. Tak ada yang berubah dari laki-laki yang kini berdiri di depanku.

"Ha-hai. Apa kabar?" tanyaku, melambaikan tangan meski dengan gugup.

"Aku baik. Ke mana saja, Re? Dan ada keperluan apa kau ke rumahku? Bukankah kau benci padaku?"

Kejadian yang sudah berlalu itu ternyata masih diingat dengan baik oleh Zen. Dulu, aku mengira jika dialah penyebab aku ditahan. Tapi ternyata perkiraanku salah. Justru Saktilah pemeran utamanya. Sial! Aku kecolongan.

"Sudahlah, lupakan yang lalu. Aku sudah memaafkan sikap burukmu," balasku, tanpa ingin membahas yang sudah-sudah.

"Ah, baiklah. Duduk, Re." Zen menggiringku ke teras rumah. Meninggalkan pos temoat satpam tadi berada.

"Zen, maafkan semua tuduhanku selama ini." Aku membuka percakapan serius dengan kalimat semacam itu. Ck, Aresha!

"Tuduhan apa? Tuduhan jika aku yang telah menyeretmu ke penjara. Begitu?" tebak Zen, begitu tepat. Aku mengangguk.

"Kau sendiri yang mengatakan jika kau tak ingin membahas yang lalu."

"Aku hanya tak ingin membuatmu menaruh dendam." Lagi-lagi ingatan itu kembali mengisi memori. Dengan seluruh keberanian, aku menatap kedua mata Zen. Berwarna cokelat, dengan kantung mata yang tak terlalu menyedihkan.

"Kenapa?" Zen membalas tatapku. Kini, mata kami saling beradu. Aku mencoba mencari sesuatu yang mungkin ditemukan di sudut matanya.

"Apa kau berniat menghancurkan hidupku dan juga ibu? Kau keponakan manajer? Dan apakah amplop cokelat yang diberikannya saat itu adalah identitasku? Aresha, si gadis menyedihkan yang memiliki keluarga berantakan." Suaraku melemah mengucapkan kata demi kata itu. Kutundukkan wajah tanpa menunggu Zen menyuruh seperti yang biasa dilakukannya.

Air mata itu tiba-tiba meleleh. Entah. Aku tak pernah paham dengan perasaan yang kini bertumpu. Perasaanku berantakan, seperti dulu saat aku kehilangan ibu.

"Apa yang kau katakan itu benar, Re. Tak ada yang salah sama sekali," tandas Zen. Sejenak, aku berusaha mendongak dan kembali menatap matanya. Ada yang lain di sana. Sesuatu yang kuyakini sebagai sebuah kesedihan. Zen sedih? Apa sebabnya?

"Lantas, apa semua masih berlaku? Ibuku sudah sembuh, aku sudah terbebas. Apa kau tetap akan menghukum hidupku?"

"Jangan mendesakku untuk menjawab semua itu, Re. Aku tak tahu jawabannya," kilahnya, dengan memalingkan tatapan ke sekeliling.

"Kau harus menjawabnya! Tepat di hadapan orang yang ingin kau hancurkan, demi pamanmu itu."

"Aku sudah berhenti mengikuti perintahnya. Aku paham, sebuah perasaan tak pernah bisa dipaksakan. Perasaan manajer begitu besar pada ibumu. Namun belum tentu hal itu berlaku bagi ibumu sendiri. Sama sepertiku saat ini. Aku menyayangimu, aku menginginkanmu. Tetapi, kau belum tentu sama sepertiku."

Gadis yang TerbelengguDär berättelser lever. Upptäck nu