Tanya tak Berjawab

43 5 4
                                    

Perkataan Zen terus terngiang di sepanjang jalan pulang tadi. Apakah dia benar-benar mengatakan semua itu dari hatinya? Ataukah, semua hanya ilusi agar aku mau menjadi boneka mainan seperti yang dilakukannya tempo hari.
.
Perihal Sakti, aku masih tak tahu harus menemuinya di mana. Hari ini, tepat satu minggu setelah kepergian laki-laki yang selalu menolongku itu. Jujur kukatakan, meski kecewa mengobrak-abrik nurani, tapi rindu itu tiba-tiba menggelitik hati. Kapan kau akan pulang, Sak? Tak rindukah mendengar cerita pilu dariku? Air mata menetes tanpa kuduga.

“Kau menangisi Sakti? Kau menyayanginya, Re?” Pertanyaan sulit itu diberikan ibu dari arah pintu kamar. Aku mendongak, menyeka air mata yang merembas. Jangan sampai ibu tahu yang sesungguhnya.

“Tidak. Aku tidak menangis, Bu. Aku baik-baik saja,” kilahku sembari mengulum senyum.

Dari tatapan ibu, aku merasa ada sesuatu yang asing. Sebuah rasa gelisah tanpa kutahu sebabnya. Langkah ibu tepat berhenti di depanku, menyentuh pipi, lantas mengecup pucuk kepala. Hal asing yang lama tak kurasakan.

“Jika kau menyayangi seseorang, katakan kejujurannya. Jangan membodohi diri sendiri dengan mengatakan tidak. Ibu tahu apa yang saat ini ada di benakmu, Re. Kau gelisah atas kepergian Sakti. Begitu?”

Aku mengangguk. Seluruh kata-kata seolah tercekat di tenggorokan. Bagaimana mungkin rasa tak keruan ini hadir begitu saja? Antara Zen dan Sakti, aku tak bisa memilih keduanya. Karena yang kutahu, aku hanya ingin menjaga ibu sampai dia benar-benar sembuh. Setelahnya? Biarkan waktu yang menentukan.

***

Beberapa barang belanjaan ditaruh di atas meja. Ibu masih sibuk dengan pesanan katering dari Bu RT yang akan mengadakan syukuran. Memang, semakin hari kondisi ibu semakin bugar dan seperti sediakala. Tak ada teriakan di pagi buta dan pemberontakan yang dilakukannya. Kurasa ibu sudah bisa menerima semua kenyataan ini.
.
Hari ke-15 tanpa kabar Sakti adalah hal mengerikan. Seharusnya dia tak pergi sebelum mengatakan alasan yang pasti melakukan segala kebodohannya itu. Sakti seolah-olah menutup diri dari keramaian. Namun aku sangat yakin jika dia masih ada di Bandung.

“Bu, Aresha ke rumah Zen dahulu, ya.”

“Zen? Kalian sudah berdamai?” selidik ibu seperti tak percaya jika aku dan Zen berdamai.

“Sudah. Untuk apa berlama-lama memendam dendam? Bukankah Ibu selalu mengatakan jika hidup tak sekadar mengingat kesalahan orang?” kikikku mencoba menggoda ibu.

“Semakin hari Ibu perhatikan kau semakin dewasa, Re. Lantas, kapan akan menikah?” seloroh ibu tepat mengenai jantung. Pertanyaan itu menohok.

“Sabtu atau Minggu, Bu. Sudahlah ..., Aresha pergi dulu.”

Motor kesayangan berwarna merah menemani perjalananku hari ini. Semenjak perbincangan dengan Zen hari itu, kita sepakat untuk saling berdamai. Malahan, hari ini Zen akan membantuku mencari Sakti. Entah ke mana, aku masih tak tahu tujuannya.

***

Drrrtt ... Drrrtt ...

Ponselku bergetar tanda telepon masuk. Sejenak aku menepi di sekitar kompleks arah rumah Zen. Nomor pribadi? Siapa ini? gumamku.

“Halo?”

“Apa kabarmu, Re? Kau gelisah memikirkan aku? Haha, aku senang mendengar suaramu lagi,” akunya, di ujung telepon. Aku mengernyitkan dahi sembari menatap layar ponsel.

“Kau Sakti? Hei, mengapa kau pergi di saat aku keluar dari penjara? Bukankah seharusnya kau menyambut kebebasanku dengan jawabanmu?” rutukku, tanpa peduli orang-orang sekitar kompleks mengira aku gadis gila.

“Aku memang Sakti. Nanti aku akan pulang saat semuanya sudah tenang. Habiskan dulu waktumu untuk Zen dan Ibu. Kau berdamai dengan laki-laki itu, ‘kan? Ah, sudah kuduga!” decaknya.

“Mengapa kau mengatakan itu? Sok tahu! Ayo katakan padaku, di mana kau sekarang?!” Aku mendesak Sakti agar dia tak lagi bersembunyi. Seperti main petak umpet, tapi tak ada yang jaga.

“Sudahlah, aku sibuk. Salam.”

Telepon dimatikan dengan kalimat yang tak kuhendaki. Sial! Mengapa Sakti menjadi menyebalkan seperti ini? Padahal biasanya penuh dengan tata krama. Insting mengatakan ada hal yang tidak beres. Baiklah ... jika dia ingin aku mengikuti permainannya.

***

“Sakti meneleponku.” Tatapan serius kuberikan pada Zen di teras rumahnya.

“Apa yang dikatakannya?” tanya Zen, membenahi posisi duduk seperti seorang rekan bisnis yang sedang rapat.

“Hal menyebalkan yang tak kuhendaki. Aku mengira Sakti masih di Bandung. Apa kau siap menemani pencarianku?” Nada bicara sedikit bergetar. Aku takut kalau-kalau Zen berubah pikiran.

“Kita berangkat sekarang.” Zen menggamit tanganku ke arah mobil sport berwarna gelap. Dari luar, aku bisa menaksir harganya yang tak dikira murah. Puluhan juta, bahkan mungkin ratusan juta.

Zen mengarahkan mobilnya ke sekitar Dago. Aku sibuk dengan menerawang satu per satu kejadian aneh belakangan ini. Tiba-tiba di sebuah parkiran restoran, aku membidik motor besar milik Sakti.

“Itu Sakti!!” pekikku pada Zen dengan panik.

Ckkiitt ...

Mobil direm mendadak. Zen meliarkan pandangan ke arah kanan. Dia tersenyum semringah lantas menatapku.

“Instingmu hebat,” katanya.

“Tak ada waktu untuk pujian seperti itu. Ayo turun! Sebelum Sakti menghilang lagi,” ujarku turun dari mobil.

Laki-laki yang kuyakini Sakti itu tengah duduk seorang diri di sudut restoran. Pakaian kemeja salur lengan pendek, membuatnya terlihat manis. Cih! Apa yang kupikirkan? Seharusnya aku fokus dengan tujuan awal; mencari jawaban.

Tak perlu berbasa-basi. Aku menyerobot masuk ke dalam restoran dan menggebrak meja Sakti. Seluruh pengunjung menatap heran ke arahku. Masa bodoh!

“Apa yang kau lakukan? Kau menumpahkan kopinya!” pekik Sakti, bangkit dari kursi.

“Kau lebih memikirkan kopi dibanding tanggung jawabmu?” tandasku menatapnya tajam. Baru kali ini aku memarahi Sakti.

“Aku akan bertanggung jawab. Tapi tidak untuk saat ini!!”

“Mengapa?!”

“Kau tak perlu tahu alasannya. Pergi dan tinggalkan aku sendiri!” Sakti mengusir begitu kasar. Mendorongku hingga terjungkal. Untung saja Zen sudah bersiap menopangku agar tak terjatuh.

“Tak perlu bersikap kasar pada Aresha!” bentak Zen, sekonyong-konyong.

Bug!!

Sakti meninju perut Zen. Keadaan semakin gaduh karena mereka saling adu jotos. Aku panik, hingga berteriak meminta bantuan keamanan restoran. Pagi yang tak menyenangkan bagiku.
.
Mereka diseret keluar oleh si pemilik restoran. Namun sebelum itu terjadi, aku menemukan sebuah amplop cokelat di samping meja Sakti. Di luarnya terlihat bercak darah. Amplop apa ini?

Gadis yang TerbelengguWhere stories live. Discover now