Aku, Si Gadis Malang

93 14 18
                                    

Genap satu minggu aku membawa ibu pulang. Merawatnya sesuai perintah dokter tempo hari. Selama itu pula, kios milikku selalu ramai dikunjungi pembeli. Walau hanya sekadar membeli beberapa barang kebutuhan pokok.
.
Kesehatan ibu masih tak ada perubahan. Dia sering mengamuk tiba-tiba dan terkadang melempar apa saja yang ada di hadapannya. Tangisku pecah setiap kali mendengar pekikan pilu darinya. Mengiris hati, membuat seluruh kesedihan seolah bermunculan menyergap.
.
Aku ingin membawa ibu kembali ke rumah sakit itu. Jika dia terus di sini, aku menyangsikan tentang kesembuhannya. Jujur saja kesanggupanku untuk merawatnya mulai luruh.
.
Tiba-tiba pikiranku tertuju pada Zen. Tawaran pekerjaan--yang tak kutahu jenisnya--membuatku ingin menemui pemuda jangkung menyebalkan itu.

"Halo?" sapaku setelah suara telepon diangkat.

"Ya? Ada apa?" tanya Zen dari seberang telepon dengan ketus. Aku menarik napas menenangkan diri. Jangan sampai terjadi keributan dengannya lagi.

"Aku ingin bertemu." Tanpa basa-basi aku mengatakan maksud menghubunginya. Rasanya tak keruan. Tapi semoga saja dia mau menemuiku.

"Di mana?"

"Alun-alun kota."

"Oke," ujar Zen menyetujui. Lantas, telepon itu dimatikan. Aku melirik ke arah kamar ibu. Tak ada tanda-tanda jika ibu sudah bangun. Mungkin karena efek semalam.

Memang, semalam badan ibu panas tinggi. Dia demam dan harus dikompres. Aku mengompresnya hingga dini hari. Dan waktu tidurku terlewat begitu saja karena aku harus menjaga ibu.

***

Sekitar jam 10 aku sudah sampai di tempat yang dijanjikan. Banyak orang berlalu-lalang menikmati pagi yang akan beranjak menjadi siang dua jam ke depan. Tanganku gemetar tak seperti biasanya. Aku gugup, menanti kedatangan Zen.

"Maaf lama, tadi macet." Zen sudah ada di sampingku, sekitar sepuluh menit setelah aku duduk.

"Tidak apa-apa," seruku masih gemetar. Namun aku berusaha mengontrol diri sendiri agar tak terlalu terlihat gugup di depan Zen.

"Ada apa, Re?" Suaranya lembut, tak seperti saat dia mendatangiku ke rumah. Ck.

"Waktu itu kau bilang ingin memberiku pekerjaan. Pekerjaan apa?"

Sorot matanya berubah menjadi tajam. Wajah yang tadinya menatap lurus ke arah Zen, kutundukkan perlahan. Menggigit bibir bawah seolah riwayatku akan tamat menanyakan perihal pekerjaan itu.

"Kau yakin ingin bekerja denganku? Nanti kau menyesal." Matanya mendelik kemudian dia berdecak.

"Memangnya, pekerjaan apa?" Aku memberanikan diri kembali menatapnya lurus. Menyelidik apa yang tersembunyi di balik tatapan misterius tapi mengejek itu.

"Penulis berita." Zen mengalihkan pandangan pada pohon-pohon yang berdiri kokoh di sekeliling kami. Aku terkesiap mendengar jawaban darinya.

Penulis berita? Ck, pekerjaan yang tak pernah kujamahi sebelumnya. Apa Zen sudah gila? Menawariku pekerjaan semacam itu. Padahal dia tahu jika aku hanya mantan pelayan restoran dan penjaga kios. Bukan penulis karangan, apalagi berita seperti yang ditawarkannya.

"Bagaimana?" kata Zen, menanyakan keputusanku.

"Apa tak ada pekerjaan lain?"

"Setiap satu berita yang kau tulis, kau akan mendapat bayaran satu juta."

Tawaran yang menggiurkan. Jika dalam seminggu aku bisa menulis satu berita, maka aku akan mendapatkan tujuh juta. Argh! Tapi aku tak pernah melakukan pekerjaan semacam itu.

"Kalau kau tak mau, ya sudah tidak apa-apa." Tubuhnya yang jangkung kini bangkit dari bangku. Kepalaku mendongak melihat raut dari wajah datar--tapi tetap manis--itu.

Gadis yang TerbelengguKde žijí příběhy. Začni objevovat