Bab 1: Takut

1.2K 116 26
                                    


Paginya, penduduk desa membantu Kanre menggotong kayu. Karena tak seorangpun yang mengerti cara membuat perahu, Kanre dibiarkan melakukan pekerjaannya sendiri. Seid, yang berusaha membantu, malah tampak seperti mengganggu.

Kanre memakai kaos belel tanpa lengan dengan robek besar di kerahnya dan tampak dijahit asal-asalan. Seperti sebelumnya, para penduduk berkerumun untuk menonton pria itu. Pria itu pulih dengan sangat cepat setelah beristirahat seharian sebelumnya, sehingga para wanita desa dengan mudah jatuh hati kepadanya.

"Seid, hati-hati menggunakan palunya," peringat Kanre, dan sedetik kemudian Seid memukul jarinya sendiri ketimbang memukul paku. "Obati dulu lukanya, baru kembali membantu."

Ketika Seid beranjak pergi, Kanre menghela napas. Seid merasa darahnya naik ke kepala. Dia malu sekali. Pasti Kanre akan meninggalkannya, karena Seid betul-betul menjadi beban. Tapi Seid sendiri tidak tahu apakah sebaiknya dia memberitahu orangtuanya tentang hal ini atau tidak, karena sepertinya mereka akan mengunci Seid di kamar yang gelap agar dia tidak pergi. Atau mungkin justru akan dengan senang hati menendangnya pergi.

"Kau benar-benar ingin pergi?" tanya Kanre setelah Seid kembali. Kini Kanre tengah memotong beberapa gelondong kayu, dan berhenti sejenak untuk mengambil air yang dibawa Seid. "Aku khawatir hanya akan membawamu menuju kematian yang lebih cepat."

Darah kembali naik ke kepala Seid. Seid sudah kuatir kalau Kanre akan menanyakan kembali tekadnya. Dia berpura-pura tidak masalah dengan hal itu dan memegang telinganya, menutupinya jika telinganya memerah. "Aku tak punya tempat di sini. Barangkali aku mempunyai tempat di luar sana."

Kanre menatapnya dengan tatapan yang dalam, tidak seperti tatapan santainya yang biasa. Seid merasa gugup. "Setelah keluar dari sini... sejujurnya aku tak mau mengatakan ini, tapi..." dia kembali terdiam, ragu. "Setelah keluar dari sini, mungkin kau akan menyesal."

"Tidak!"

"Ya. Karena setelah ini kau takkan bisa menoleh kembali ke belakang," balasnya serius. "Yang akan kauucapkan pada keluargamu bukanlah 'sampai jumpa', tapi 'selamat tinggal'."

Mulut Seid menjadi kering. Dia menaruh gelas berisi air yang sebelumnya hendak diminumnya. Dia mendadak lupa bagaimana cara menenggak air.

"Karena itulah aku sudah ragu untuk membawamu, Seid," tambah Kanre. Karena tampaknya tak akan ada jawaban, Kanre pun melanjutkan pekerjaannya, membiarkan Seid termenung.

Setelah mendapatkan cukup potongan kayu, ia pergi menuju kapalnya yang setengah jadi. Dia menyusunnya menjadi kapal yang kuat. Kanre membuat kapal yang tak terlalu besar, dan dia dapat memperkirakan kalau kapal itu dapat selesai besok, tengah hari. Dan dia akan langsung berangkat. Namun ketika memikirkannya, Kanre kembali menoleh ke arah tempatnya memotong kayu tadi.

Seid masih di sana, berdiri. Kanre tak sanggup menyapanya. Dia pun memilih untuk terus melanjutkan hingga matahari terbenam sepenuhnya.

Tangan Kanre gemetar karena kelelahan. Dia bersyukur dengan malam yang datang. Dia kembali menoleh untuk melihat Seid. Masih dalam posisi yang sama. Entah mengapa, tak ada seorang pun yang menjemputnya, entah keluarga atau siapapun.

Kanre pun memutuskan untuk mengantar Seid pulang. Ketika Kanre menyentuh bahu Seid, akhirnya Seid mengeluarkan suara.

"Sendirian," bisiknya. Entah mengapa, dalam suara Seid, ada sesuatu yang membuat Kanre merasakan ngeri. "Aku di sini sendirian."

Seid tertunduk, tidak memperlihatkan wajahnya kepada Kanre, dan matanya tertutup poni. Kanre sempat berpikir kalau anak itu menangis. Karena tak ada perubahan, Kanre pun menarik bahu yang digenggamnya, memaksa Seid menatap dirinya. Dan betapa terkejutnya Kanre ketika Seid menatap dirinya.

The WizardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang