Bab 12 - Dilema

274 65 6
                                    


Pemandangan itu begitu mengerikan. Keributan yang dibuat karena pertarungan para naga memaksa Kanre dan Malik keluar dari gubuk, melihat situasi. Lalu mereka pun menyaksikan sang Naga Pelindung ditaklukkan oleh seorang pria. Tidak lama setelahnya, mereka melihat dua manusia bersayap tengah bertarung.

Mereka terbang tak beraturan, tampaknya tidak lagi menyadari apa yang ada di bawah mereka. Seekor peri terbang ke arah Kanre dan Malik dengan terburu-buru, tampak panik dan ketakutan.

"Malik, Malik!" panggilnya.

"Ya, sayangku, ada apa? Tenanglah dulu, bernapaslah dengan teratur dulu," kata Malik berusaha menenangkan peri itu.

"Bocah itu! Mendadak saja mendekati pria aneh yang membunuh Naga Pelindung, lalu sayap tumbuh dari punggungnya!"

Kanre terkejut mendengarnya. Sejenak dia ingin menghentikannya, tapi dia berpikir lagi. Kenapa dia harus menghentikannya? Biarkan saja Geron membunuh Sabbara yang belum mengingat masa lalunya. Tapi kemudian ingatan akan pelukan yang diberikannya untuk menenangkan bocah berusia tiga belas tahun memenuhi pikirannya. Tidak. Anak itu bukan Tio. Dia adalah jelmaan sang naga. Benar, makhluk itu pasti ingin memperdaya Kanre.

"Apa yang kaulakukan, Kanre?" ujar Malik, tampak marah. "Kau akan membiarkannya mati? Anak itu seusia dengan Tio jika Tio masih hidup!"

"Tapi anak itu bukan Tio!" bentak Kanre tanpa sadar. "Dia adalah monster! Dia pembunuh!"

"Bukan!" bentak Malik dengan suara yang lebih keras. Kanre terkejut dan sedikit merasa segan pada Malik. "Tak ada pembunuh yang berjuang mati-matian untuk melindungi sesuatu, sekalipun dia hanya melindungi kaumnya."

Kanre masih bimbang. Dia menatap pertarungan yang kacau yang masih ada di atas daratan. Ketika melihat Seid mendesak Geron, Kanre merasa kepolosan Seid tak boleh tercoreng, dan ia pun tanpa sadar berteriak, "Jangan membunuh!"

Tapi tepat ketika setelah kata itu terlontar dari mulutnya, Kanre malah melihat Sabbara yang berusaha membunuh Geron. Bayangan tentang Seid mendadak hilang dari dalam kepalanya, dan yang dilihatnya hanyalah Sabbara. Dan ketika mereka sudah terbang jauh ke laut lepas, Kanre tidak peduli.

Dia berbalik hendak masuk ke dalam gubuk, dan Malik menghentikannya. "Mau ke mana?" tanyanya dengan suara yang tegas.

"Sudahlah," jawab Kanre tanpa berbalik kembali untuk menatap mata Malik. "Sudah cukup. Aku selesai dengan anak bernama Seid yang memiliki kekuatan tersembunyi. Aku akan pergi meninggalkan Sabbara bertarung, dan kalau bisa dia tenggelam saja."

Ucapan dingin pria itu memacu sang peri berbaju merah untuk pergi menyusul Seid. Malik tak bisa meraih peri itu karena terbangnya yang sangat cepat, dan hanya bisa mendoakan keselamatannya. Malik menatap Kanre dengan marah. Dia mencengkeram bahu yang dipegangnya sekuat mungkin.

"Siapa kamu? Aku tidak mengenalmu," katanya. "Kanre yang kukenal tidak seperti ini. Mengabaikan seorang anak demi ambisi konyol. Kudengar kau mau menghidupkan Elona dengan meminta bantuan naga yang bijak? Konyol! Naga bijak tak akan mendengar permintaanmu."

"Sudah kukatakan, dia Sabbara! Bukan seorang anak!" bentak Kanre tak mau kalah. "Lupakan tentang Sabbara! Aku akan melanjutkan perjalananku mencari jalan untuk menyatukan dunia kehidupan dan kematian..."

Malik memukul kepala Kanre kuat-kuat. Kanre terkejut akan perlakuan itu. "Kau sudah bukan lagi penyihir," ucap Malik dengan suara pelan tetapi penuh kemurkaan. "Kau melupakan keseimbangan. Apakah kau akan memusnahkan segala sesuatu di dunia ini demi seorang wanita? Betapa bodohnya aku mengharapkan dirimu."

Kanre terpekur, shock karena perkataan Malik. Malik langsung masuk ke dalam gubuknya, meninggalkan Kanre. Hari terus berlari hingga malam tiba. Kanre masih berdiri diam. Peri itu tidak kembali lagi. Apakah dia terbunuh? Tak bisa disalahkan, karena di dekatnya ada Sabbara.

Bayangan tentang bocah yang bercita-cita untuk mengubah omong kosong menjadi kenyataan sambil memandangi bulan memenuhi kepalanya. Sungguh bodoh. Itu adalah perkataan Seid, bukan perkataan Sabbara. Yang ada di sana sekarang adalah Sabbara, bukan Seid. Seid sudah musnah.

Malik sudah mengobrol dengannya sebelum ini, ketika Seid disuruh mencari bunga Elona. Dia membicarakan tentang Sabbara yang berada di dalam diri Seid. Tapi tidak seperti Kepala Sekolah yang mendukungnya untuk bisa mengajari Seid, Malik justru memercayai keteguhan hati Seid. Dia percaya, Sabbara tak akan menguasai tubuh itu.

Tapi itu hanyalah omong kosong. Makhluk itu sudah membunuh anak dan istrinya sambil tertawa. Bagaimana mungkin Kanre akan pergi untuk menolongnya sekarang? Menolong orang yang paling dibencinya?

Kalimat itu mengiang-ngiang seperti gema di dalam kepala Kanre. Benci? Apakah Kanre membencinya? Kanre memang membenci Sabbara, tapi dia tidak membenci Seid. Apakah karena Kanre membenci Sabbara, maka dia harus membiarkan Seid mati bersama Sabbara?

Kanre pun menanggalkan segala keegoisan dan kesombongannya, dan berlari menuju perahu yang ditambatkannya di pantai. Tapi ke mana dia harus pergi? Kanre memikirkannya sambil terus berlari. Ke pulau terdekat? Pulau yang ada di dekat sini adalah pulau Grend. Haruskah dia ke sana?

Tidak. Bagaimana kalau ternyata Seid sudah jatuh dan tenggelam? Kanre sudah tidak bisa memutuskan, dan dia pun berhenti berlari. Seid pasti sudah mati, dibunuh Geron. Sungguh bodoh dirinya. Kenapa dia tidak bertindak sejak tadi? Dia bisa menghentikan Seid dengan sihirnya. Benar-benar bodoh!

Dia berjongkok dan terisak, tapi tak ada air mata. Setelah beberapa saat, terdengar suara gemerisik daun yang diinjak. Malik datang menyusul.

"Kanre," ucapnya. Kini dia tersenyum dengan lembut. "Kau memang penyihir. Pergilah ke pulau Penyihir dan temukan jawabannya di sana."

"Pulau Penyihir? Apakah Seid ada di sana?"

"Aku tidak tahu," katanya. "Salah satu peri memberitahuku. Mereka dapat dipercaya mengenai kebenaran. Dia yakin kalau jawaban yang kaucari ada di pulau Penyihir, Kanre."

Kanre berdiri dan mengambil langkah yang mantap pada setiap langkahnya. "Sampaikan maafku pada peri itu karena sudah membunuh temannya."

Penuh keyakinan, Kanre mengecek kompas yang selalu dibawanya dan sesegera mungkin berangkat ke pulau Penyihir. Jawaban yang dicari Kanre ada di sana. Kanre sudah mengkhianati kepercayaan rekan perjalanannya, dan dia harus segera menebusnya.

Entah apa yang akan dilakukannya nanti, tapi Kanre hanya terus maju ke depan. Tak perlu rencana dan masa lalu. Yang dilihatnya hanyalah saat ini dan hari esok. Dengan yakin dan mantap, Kanre pun bernyanyi sambil menjaga angin sihirnya tetap bekerja.

Kaumku berlayar menuju barat, menuju hari esok

Siapakah yang hendak menghentikan kami?

Hari esok berada dalam genggaman kami

Kaumku akan berlayar dan terus berlayar

Ke barat, lurus ke barat, menuju hari esok

Nyanyian itu bergema dalam hatinya. Dia menyanyikan lagu ini untuk menidurkan Seid yang gelisah di atas perahu. Dia menatap haluan tempat Seid tidur. Dia sudah mengkhianati Seid. Bukankah dia lebih rendah daripada Sabbara?

Kanre marah kepada dirinya sendiri. Kenapa dia bisa membenci orang lain ketika yang seharusnya dibenci adalah dirinya sendiri? Memalukan. Yang ada di pikirannya hanyalah orang yang sudah meninggal dan melupakan orang yang masih hidup. Benar, Seid adalah orang. Suatu saat, Kanre akan menyanyikan lagu peninggalan Elona kepada Seid, agar dia bisa mengingatnya dan menyebarkannya kepada semua orang. Benar. Kanre berjanji kepada dirinya sendiri di dalam hatinya, dan kepada bulan kesepian yang menggantung di langit.

The WizardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang