Bab 9 - Peri

641 74 18
                                    


Kanre menjadi pendiam setelah terbangun. Dia tidak mengajak siapapun bicara, termasuk Seid. Akhirnya pria itu kembali bersuara ketika daratan terlihat. Dia meminta Hierdo menurunkan dirinya dan Seid, tapi tidak menjawab pertanyaan Hierdo.

"Kenapa aku harus menurunkanmu di pulau Dien?" tanyanya. "Apa urusanmu di sana? Kalau itu adalah sesuatu yang berbahaya, aku..."

"Bukan urusanmu," jawab Kanre pelan.

Hierdo tak kuasa melawan temannya itu. Dia pun membiarkan mereka turun. Pulau Dien adalah salah satu pulau terkecil yang ada di kepulauan Hediona. Hierdo mengeluarkan kapal Kanre yang ditahan Hierdo saat menculik mereka. Ketika tiba saatnya mereka berpisah, Seid menoleh menatap Hierdo.

Hierdo pun tengah menatapnya, berharap kalau anak itu bisa membuat Kanre melihat cahaya yang dibawanya, menuntun Kanre keluar dari kegelapan itu.

Kanre masih mengabaikan Seid. Mereka sedang menyusuri hutan pulau itu. Pulau kecil itu tampaknya tidak memiliki pemukiman warga. Mereka terus berjalan di tengah kesunyian.

"Kanre," panggil Seid memecah keheningan. "Kaubilang kau akan mengajariku bahasa naga."

Dia tidak menjawab. Seid mulai kesal dengan kelakuan temannya ini. Bagi Seid, Kanre sedang merajuk. "Nanti saja," jawabnya tiba-tiba dengan suara bisikan. Tampaknya Kanre masih sulit mengeluarkan suara dari tenggorokannya, dan tak pernah bicara dengan suara yang lebih keras dari bisikan lagi. "Lagipula sekarang kita sedang menuju rumah pria gila yang pernah kuceritakan kepadamu."

Seid cemberut, tetapi dia tidak protes. Dia membiarkan Kanre melanjutkan keheningan itu. Setelah berjalan cukup lama, akhirnya mereka tiba di sebuah gubuk kecil. Kanre mengajak Seid untuk lebih dekat lagi ke gubuk itu. Lalu tiba-tiba sekilas Seid mendengar suara kikik seorang gadis kecil. Dia melihat sekeliling, dan tidak menemukan siapapun.

Kanre mengetuk pintu gubuknya, lalu seorang pria tua bertubuh pendek membukakan pintu. Pria itu memakai pakaian robek-robek seadanya. Rambut dan janggutnya dibiarkan panjang tanpa pernah dipotong dan dikepang agar panjangnya berkurang. Pria itu tersenyum melihat wajah Kanre, memperlihatkan giginya yang tinggal tiga.

"Kanre! Masuklah, Anakku!" ajaknya bersahabat. Seid pun turut masuk ke dalam sana. Pemandangan yang sungguh luar biasa. Di dalam sana, terdapat banyak bunga-bunga yang dikeringkan, tanaman-tanaman herbal yang dijadikan obat. Buku-buku tua berjejalan di dalam maupun luar rak. Dia menyingkirkan kertas-kertas dari atas sebuah kursi pendek tanpa sandaran, lalu menyodorkannya pada Kanre. Pria tua itu sendiri duduk di sebuah kursi yang memang selalu didudukinya. Seid dibiarkan berdiri, atau mungkin pria itu tidak menyadari kehadiran Seid. "Tampaknya kau sudah melewati perjalanan yang melelahkan dan menyedihkan."

Kanre tidak menjawab. Lalu si pria tua yang berwajah riang itu teringat akan sesuatu, lalu mengambil sebuah teko dan menyeduh teh. Dia mencuci beberapa gelas yang dimilikinya.

"Tuanku," ucap Kanre. "Saya membawa seorang anak dari pulau Fluon. Dia ingin mempelajari bahasa naga. Maukah Anda mengajarkannya?"

Pria itu tertawa. "Bukankah kau bisa mengajarkan itu kepadanya?"

Sang pria tua menuangkan teh ke dalam tiga gelas. Dia pun memberikannya kepada Kanre dan Seid, lalu menyeruput bagiannya. Seid melihat gelasnya. Warna tehnya sedikit aneh, tampak keruh dan sedikit menjijikkan. Tapi ketika Seid meminumnya, wangi yang menenangkan menyeruak ke dalam hidung dan pikirannya. Pria tua itu menatap Kanre.

"Bagaimana, Nak? Kau sudah merasa lebih baik?" tanyanya. "Kau pasti kenal baik aroma bunga itu. Bunga itu adalah bunga yang khusus dipakai untuk menenangkan pikiran yang stress dan hati yang lelah."

The WizardWhere stories live. Discover now