Bab 3 - Pulau Penyihir

855 98 22
                                    


Mereka tidur di atas perahu, menunggu daratan yang belum muncul. Seid tidur di haluan. Dia menatap bintang-bintang dengan kekaguman, tidak bisa tidur. Kanre yang sedang meringkuk di buritan sadar kalau Seid tidak bisa tertidur.

"Apa ada yang mengganjal pikiranmu?" tanya Kanre. Seid terdiam, tak ingin menjawab Kanre yang sudah duduk. Setelah hening cukup lama, Kanre pun menyerah. "Kalau tidak, maka tidurlah. Kau akan mengalami hari yang melelahkan besok."

"Apakah kau selalu menggunakan sihir, bahkan untuk hal-hal kecil?" tanya Seid tiba-tiba. Kanre tersenyum samar, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu.

"Hanya jika terburu-buru. Dalam mengerjakan perahu ini pun aku menggunakan sihir. Bisa dibilang perahu ini nyaris membangun dirinya sendiri," jelasnya. "Sebaiknya alam ini dibiarkan berjalan seperti bagaimana mereka harus berjalan. Sihir hanya akan mengganggunya."

"Aku sudah melihat hal yang hebat, tapi entah mengapa aku sama sekali tidak tergerak," aku Seid. "Biasanya, ketika melihat sesuatu yang baru, aku akan meminta seseorang mengajariku, tapi entah mengapa aku tidak begitu peduli dengan sihir. Seolah-olah itu bukanlah hal yang baru buatku."

Kanre menghela napas. Akhirnya Seid menatapnya, dan melihat wajah pria itu yang disinari oleh cahaya bulan purnama. Matanya tampak menerawang jauh, tidak melihat Seid melainkan sesuatu yang ada di dalam Seid. Mungkinkah hal ini berhubungan dengan apa yang membuat Kanre merasa takut?

"Tidurlah," gumam Kanre. Seid tak punya alasan apa pun untuk membantahnya, dan mencoba untuk tidur. Kanre bersenandung, lalu mulai bernyanyi. Suaranya berat dan dalam, terdengar mantap.

Kaumku berlayar menuju barat, menuju hari esok

Siapakah yang hendak menghentikan kami?

Hari esok berada dalam genggaman kami

Kaumku akan berlayar dan terus berlayar

Ke barat, lurus ke barat, menuju hari esok

Seid tertidur ketika Kanre menyenandungkan kembali lagu tersebut. Lagu yang indah, menurut Seid. Mengapa di pulaunya tak pernah ada lagu indah seperti ini?

Hantaman keras membangunkan Seid. Ombak mulai kencang dan mengombang-ambing perahu kecil itu, membuat Seid terbanting. "Maaf lupa membangunkanmu!" ucap Kanre dari buritan. Seid mengusap-usap pelipisnya dengan kesal.

Mereka menjalani hari yang cukup menyenangkan. Kanre memberitahu Seid kalau di dekat sini ada sebuah pulau yang besarnya sepertiga pulau Fluon. Pulau itu memiliki sebuah sekolah khusus untuk penyihir. Akan tetapi sekolah itu mengajarkan ilmu umum yang membuat siapa pun dapat menjadi penyihir. Seperti obat-obatan herbal dan memprediksi cuaca. Atau mungkin mempelajari alam, hanya saja tak bisa berbicara dengan mereka.

"Apa dulu kau belajar di sana?" tanya Seid.

"Aku mendapatkan undangan khusus, tentunya. Beberapa anak yang memiliki bakat sihir sepertiku akan mendapat undangan dan beasiswa, tapi tidak, aku menolaknya."

"Kenapa?"

Matahari sudah menggantung siap terbenam. Cahaya merah menyinari wajah pria itu, sehingga wajahnya tampak bercahaya. "Aku benci berada di tengah-tengah mereka. Orang-orang yang penuh dengan hasrat konyol dan kebanggaan hampa."

Wajah serius Kanre membuat Seid malu. Kebanggaan hampa. Seid kembali mengingat bagaimana ia merasa bangga saat Kanre ketakutan terhadapnya. Dia memang sangat menginginkan tatapan itu sejak dulu. Orang-orang takut dan hormat padanya. Dia menginginkannya. Tapi setelah mendengar kata-kata itu, hati Seid mencelos. Betapa bodohnya dia! Karena itulah Seid dikatakan belum siap, belum dewasa, walau orang-orang Daratan Luar seharusnya sudah dewasa pada usianya.

The WizardWhere stories live. Discover now