Bab 10 - Masa Lalu

630 79 20
                                    


Rasanya sesak. Tempat ini menghimpit Seid. Seid tak mampu menggerakkan tubuhnya. Tempat ini begitu gelap, sepi, dan dingin. Apakah dia akan mati? Ingatan akan masa lalu mendadak saja muncul di benaknya.

Seid terbang dengan bebas di atas lautan yang biru... tidak. Itu bukan ingatannya. Ingatan siapa? Mungkinkah berhubungan dengan kekuatannya ini? Kehidupan sebelum lahir?

Ingatan itu memberitahu Seid, kalau dia tidak tersusun dari daging dan tulang. Tapi dia terlahir dari kebencian dan amarah. Begitulah kaumnya tercipta.

Terbang bebas. Di atas langit. Lebih tinggi dari langit. Di atas semuanya, tidak terkalahkan. Siapa yang berani menandinginya? Makhluk bodoh jika ia berani.

Di bawah sana, lautan sudah berubah menjadi daratan. Para manusia berlarian dan berteriak-teriak melihat dirinya. Dia pun memutuskan untuk sedikit iseng. Dia menukik turun, lalu menghanguskan desa itu dengan api yang keluar dari hembusan napasnya.

Dia tertawa-tawa senang. Ini sungguh memuaskan, apalagi ketika melihat serangga-serangga kecil itu berlarian ketakutan akan dirinya. Lalu dia merasakan sengatan kecil di balik kulit kerasnya. Dia melihat seekor penantang di atas tebing.

Penantang itu menatapnya penuh rasa takut. Rupanya dia adalah penyihir yang berusaha membunuh dia sendirian. Dia kembali tertawa, menertawakan kebodohan pemuda itu. Kebetulan, alam berpihak padanya. Awan gelap melintas di atas si pemuda, dan dia pun memanggil petir untuk menyambar si pemuda dengan kekuatan sihirnya.

Sebelum pemuda itu mati, dia mengucapkan sebuah kata, yang terdengar akrab di telinganya.

"Sabbara."

Sabbara menikmati santapannya. Dia pun menetap di sana untuk beberapa saat, lalu akan pergi lagi jika dia sudah kembali merasa lapar. Siapa yang bisa menandinginya? Naga tertua, dengan pengetahuan paling luas di antara naga lainnya? Sudah seribu tahun dilewatinya, dan dunia ini tetap membosankan seperti biasa. Satu-satunya hiburan adalah para serangga yang berlarian di bawah kakinya.

Lalu dia terpikirkan untuk mengunjungi daratan terbesar yang terakhir kali dikunjunginya sekitar beberapa abad yang lalu. Mungkin sekarang para manusia sudah berkembang biak dan memadati tempat itu. Sabbara merasa senang, tidak sabar untuk berangkat. Tapi dia akan menunggu sampai pertunya betul-betul lapar, agar dia bisa memakan santapannya lebih nikmat lagi.

Perut Sabbara berbunyi di senja hari. Sudah beberapa hari sejak dia tertidur, dan sekarang perut lapar membangunkannya. Sabbara memasang ancang-ancang, siap melesat ke jantung dunia.

Sebentar saja, dia sudah tiba di sana. Kota yang paling dekat dari laut pun langsung dibakarnya. Jumlah manusia di sana membuat Sabbara puas. Dia memangsa setiap manusia yang ada di sana. Lalu ada sesuatu yang berhasil memotong kulit besinya, membuatnya mengingat rasa sakit.

Dia melihat goresan kecil di lengannya, dan darah mengalir dari sana. Dia melihat si penantang. Pemuda, masih lebih muda daripada pemuda yang ditemuinya sebelum ini. Pemuda itu memandangnya penuh kemurkaan. Dendam karena orang yang dikasihinya terbunuh?

Sabbara menyeringai senang. "Kau membuatku mengingat bagaimana rasanya terluka, bocah," katanya. "Tak kusangka, bocah sepertimu mampu melukaiku. Tapi, ini saja tidak cukup."

Sabbara menghembuskan api, hendak membakar si pemuda. Pemuda itu masih bertahan, tampaknya membuat tameng dari angin. Dia tidak menampakkan rasa takut sama sekali, dan matanya hanya dipenuhi oleh kemurkaan. Pemuda itu tidak menatap langsung ke mata Sabbara.

"Yah, tapi kau tidak sesuai dengan harapanku. Oh, tidak usah tersinggung, harapanku saja yang terlalu tinggi. Kukira kau akan lebih berani dari ini dan menatap langsung ke dalam mataku."

Pemuda itu mengulang-ulang pepatah kuno yang berkata, "Jangan mendengar teka-teki naga dan tersesat karenanya." Dan pemuda itu pun meneguhkan hatinya, dan tetap menyerang tanpa memandang mata naga itu. Sang naga berhasil menangkis setiap serangan si pemuda.

Walau terus menyerang, pemuda ini pun tahu kalau dia tak mungkin menang. Lalu tiba-tiba saja sebuah goresan besar tercipta di perut Sabbara. Sabbara terkejut. Siapa yang menggunakan sihir sebesar itu? Tak mungkin si pemuda, walau dia berbakat sekalipun.

Sabbara melihat bala bantuan manusia. Mereka berjumlah tiga belas orang, maju tanpa rasa takut sedikitpun. Wajah mereka tenang dan penuh keangkuhan, melewati dan mengabaikan si pemuda. Mereka terus mengeluarkan sihir secara kompak, membuat kekuatan sihir itu berlipat ganda.

Mereka mengenakan jubah hitam yang seragam, dan sekilas dari diri mereka tercium bau naga. Sabbara melihat rompi yang terbuat dari sisik bayi naga, dan itu membuatnya kalap. Dia melupakan segala pertahanan dan segera menerjang.

Para Pemburu Naga pun tidak terlalu peduli. Mereka memusatkan pikiran pada sihir, dan berusaha melukai Sabbara. Ketika jarak mereka sudah dekat, para Pemburu Naga mengeluarkan sihir pamungkas yang langsung menghantam Sabbara.

Pemburu Naga, pasukan elit yang baru dibuat. Mereka mendekati tubuh Sabbara tanpa rasa takut sama sekali. Sabbara yang mulai kehilangan kontrol kesadaran karena luka yang dideritanya, menyadari apa yang hendak mereka lakukan. Penghabisan.

Sabbara memaksa tubuhnya bergerak melawan rasa sakitnya. Dia pun terbang dengan seluruh tenaga yang tersisa. Para Pemburu Naga terkejut karena Sabbara masih sanggup bergerak dengan luka itu. Mereka melancarkan banyak mantera sihir, tapi Sabbara tidak menghentikan terbangnya dan terus kabur.

Dia sendiri terbang dengan setengah kesadaran. Tubuhnya ditopang angin, dan anginlah yang membawanya pergi. Tak disangka, para serangga itu mampu membuatnya menjadi begini. Ini adalah yang pertama selama seribu tahun.

Di depan sana ada daratan. Sabbara harus mendarat di sana. Tapi Sabbara tidak mendarat, melainkan terjatuh. Dia jatuh tersungkur ke dalam hutan, merusak banyak pohon, dan darah menciprat ke mana-mana. Dia memuntahkan darah sekali, lalu dia tak sanggup mengangkat tubuhnya lagi.

Sabbara sekarat. Kematian sudah berada di depan mata. Tidak. Asalkan diberi waktu sebentar lagi, lukanya akan menutup. Benar. Luka kecil yang digoreskan si pemuda sudah menutup. Hanya beristirahat selama tiga hari lagi saja, luka-luka besar akan menutup dan dia bisa membalas dendam.

Terdengar suara manusia dari dalam hutan. Mereka tak boleh menemukan Sabbara dalam keadaan begini. Jika mereka melihat Sabbara, mereka akan langsung membunuhnya. Dan Sabbara yang sekarang hanya bisa pasrah akan hal itu jika terjadi. Namun itu belum terjadi dan Sabbara belum boleh pasrah.

Ia mengerahkan seluruh kekuatan sihir yang tersisa. Asalkan tidak berwujud naga, dia tidak akan dibasmi. Wujud apapun, yang penting bukan naga. Benar, wujud manusia. Tapi terkadang manusia pun sulit memercayai manusia lainnya. Kalau begitu, makhluk apa yang paling dipercayai manusia?

Bayi manusia.

Kecil dan lemah. Tak apa, biarpun Sabbara harus mengorbankan ingatan dan segala ilmu pengetahuannya. Yang penting, dia bisa bertahan hidup.

----------

Pasangan itu tengah berdebat masalah anak. Sang suami kecewa berat karena baru mendengar soal istrinya yang baru dinikahi itu tidak bisa memiliki anak. Dia merasa ditipu, apalagi di sini sangatlah tabu jika mencampakkan istri sendiri.

Perdebatan mereka dihentikan oleh suara ledakan yang luar biasa. Mereka pun berlari menuju tempat asal suara itu, melihat apa yang terjadi di sana. Dan sesampainya di sana, mereka melihat pohon-pohon rusak seperti tertimpa sesuatu, dan terdengar suara bayi yang menangis.

Mereka terkesiap melihat bayi yang terluka parah. Mereka bergegas membawanya ke desa dan merawatnya. Ahli kesehatan di desa sudah pasrah, mengatakan anak ini tak akan selamat. Setidaknya pendarahan anak itu sudah dihentikan, maka anak itu akan bertahan setidaknya hingga tengah malam.

Namun betapa ajaibnya ketika anak itu menangis keesokan paginya, meminta makan. Dalam tiga hari saja, lukanya sudah pulih. Pasangan ini pun memutuskan untuk merawatnya, dan anak itu bertumbuh menjadi anak yang sehat dan haus akan pengetahuan.

The WizardWhere stories live. Discover now