Bab 13 - Hampa

275 57 7
                                    


"Jadi, kau terjatuh setelah bertarung dengan Geron?" tanya Pangeran ketika mereka sedang bersantai-santai di kebun apel. Pangeran memetik satu buah dan menggigitnya. "Apakah menurutmu dia tidak terkalahkan?"

"Kurasa tidak begitu. Buktinya aku ini, Sabbara yang katanya tidak terkalahkan pernah dikalahkan oleh sekelompok manusia," jawab Seid. Pangeran memetik sebuah apel lagi, lalu memberikannya kepada Seid. "Asalkan ada usaha, semua pasti beres."

Udara dipenuhi aroma rumput dan bunga apel, sama sekali tak ada bau karat. Kini Seid seperti dilahirkan kembali. Sekarang Sabbara sudah benar-benar mati, dan yang ada hanyalah Seid. Seid berharap banyak pada Pangeran untuk bisa memimpin para manusia di masa depan nanti.

"Kau sudah punya siasat?" tanya Pangeran sambil masih mengunyah apel. Seid berpikir keras tanpa melupakan apel yang ada di tangannya, dan untuk waktu yang lama mereka hening. Dan suara yang ada hanyalah suara gigitan dan kunyahan terhadap apel.

"Berbeda dengan para Pemburu Naga yang memburu Sabbara, mereka sudah tahu kalau incaran mereka adalah naga besar berwarna hitam. Tapi kalau untuk melawan Geron, dengan dirinya yang sudah memakan banyak jantung naga, aku tidak tahu kalau dia akan bertransformasi menjadi binatang buas atau bahkan gabungan."

Mereka kembali berpikir keras di antara kunyahan apel. "Kurasa aku punya satu ide," ujar Pangeran. "Jika kau memang tidak yakin tentang strategi, hanya satu yang bisa menjadi andalan."

Seid menunggu. Mereka kembali dikelilingi suara apel, lalu akhirnya Pangeran menghela napas.

"Langsung saja menyerang tanpa strategi."

Seid tidak bisa membantah usul itu. Bagaimanapun juga, tak ada usul yang lebih baik lagi. Kerajaan pun sebetulnya diam-diam sudah mengirimkan sekelompok pasukan elit yang paling berpengalaman dan ahli, tapi mereka semua sudah dibunuh Geron dengan mudahnya. Kini Kerajaan tengah dirundung kengerian karena kehabisan siasat, dan menyerang tanpa strategi sama dengan bunuh diri. Tapi berbeda dengan naga tua yang usianya sudah seribu tahun lebih.

"Menurutmu, saat ini Geron sedang berada di belahan dunia sebelah mana?" tanya Pangeran tiba-tiba ketika keheningan mutlak menyelingi mereka setelah apelnya habis.

"Tidak peduli di mana, kalau aku muncul dengan wujud nagaku dia pasti akan datang dengan sendirinya."

"Tapi kupikir sebaiknya kita mencari Geron terlebih dulu, dan kau tinggal bertarung sepuas hati."

"Di tempat yang tak ada manusia," tambah Seid.

"Ya."

"Memangnya kau yakin kalau orang itu akan selalu mengenakan wujud manusianya?" kata Seid meragukan. "Bagaimana caraku menemukannya?"

"Begini analisisku," kata Pangeran tiba-tiba, tampak sedikit malu. "Aku memikirkannya semalaman. Geron sudah memakan banyak jantung naga, dan seharusnya dia sudah sangat sakti sekarang ini walaupun dia belum mendapatkan keabadian. Dia pasti akan mengacau di suatu tempat."

"Apa alasannya mengacau?"

"Entahlah, namanya Geron, 'kan?"

Seorang pelayan memanggil mereka untuk makan siang. Seid merasa sedikit canggung karena makan di meja yang sama dengan Raja dan Ratu. Ratu tampak antusias ketika mendengar Seid berasal dari pulau Fluon, tapi Raja tampak kesal karena anaknya memungut sampah. Identitasnya sebagai Sabbara masih dirahasiakan.

"Kudengar terjadi kekacauan di pulau Grend," ujar sang Raja, berbicara kepada anaknya. "Katanya ulah Naga Pelindung, tapi desanya terbakar oleh api. Rasanya informasi dari mulut ke mulut menjadi bias."

"Sama sekali tidak bias," kata Pangeran, mengejutkan sang Raja. Pangeran menatap Seid, sama halnya seperti Seid menatapnya. "Apa ada yang tahu ke mana arah terbangnya naga itu?"

"Kudengar menuju timur."

Kedua pemuda itu kembali saling tatap, membuat Raja sedikit cemburu.

"Kalian mengetahui sesuatu tentang ini?" tanyanya, melupakan gengsi. "Kau merahasiakan sesuatu lagi dari ayah?"

"Ya," jawabnya singkat, lalu tak ada suara lagi setelah itu. Seid jadi agak ngeri ketika melihat kemurkaan di wajah Raja, atau itu hanyalah sekadar kecemburuan biasa. Sedangkan sang Ratu merasakan senang karena pertumbuhan anaknya, yang disembunyikan dengan memakan santapannya secara anggun.

Setelah makan siang selesai, Pangeran langsung bangkit berdiri dan mengajak Seid berbicara bersama. Sesuai dugaan Pangeran, Seid akan berangkat secepat mungkin menuju timur.

"Perlu kami pinjamkan perahu?" tanya Pangeran.

"Tidak perlu, aku punya sayap."

Mereka menghabiskan hari itu dengan mengelilingi istana. Pangeran menceritakan semua budaya manusia dengan penuh semangat dan antusias. Setelah makan malam, mereka berjalan bersama menyusuri koridor, menuju kamar masing-masing.

"Kau akan berangkat kapan?" tanya Pangeran ketika sudah berada di depan kamar Seid.

"Besok, 'kan?"

"Bukan, maksudku apakah pagi atau..."

"Ya, pagi," jawab Seid. "Sebisa mungkin ketika dunia masih tertidur."

Pangeran tidak bersuara lagi, lalu Seid pun berbalik menghadap ke pintu kamarnya. "Kau yakin mau berangkat sendirian?" tanya Pangeran tiba-tiba. Seid pun terhenti dan berbalik.

"Ya," gumamnya.

Sekali lagi, hening. "Oke, selamat tidur," kata Pangeran akhirnya.

Seid mengangguk dan berbalik lagi, menghadap pintu.

"Mau kuminta para pelayan untuk menyiapkan sesuatu sebagai bekalmu?"

"Tidurlah!" perintah Seid jengkel. Pangeran pun terpaksa menurutinya dan pergi. Seid baru membuka pintu kamarnya ketika Pangeran sudah menghilang dari koridor.

Terdengar seorang wanita tertawa lembut di belakang telinga Seid. Sang Ratu tengah berdiri di ujung koridor, tampaknya menyaksikan adegan tadi.

"Anak itu hanya merasa senang akhirnya mempunyai teman," kata sang Ratu. "Tidak sedikit orang yang mengatakan, 'Aku temanmu.' Tapi semua itu hanyalah kata-kata jika mereka tetap memandang dirinya sebagai seorang Pangeran. Kamu adalah satu-satunya yang menganggapnya sebagai teman sederajat, Nak."

Seid tidak tahu harus menjawab apa, karena dirinya sebagai naga berusia lebih dari satu millennium tak akan merasa sungkan kepada Pangeran yang belum berusia dua puluh. Yah, tapi Seid pun belajar banyak dari sang Pangeran. Dia hanya tersenyum simpul kepada Ratu yang memandangnya sambil memikirkan anaknya. Seid pun memohon diri kepada Ratu dan masuk ke dalam kamar.

Seid berbaring di atas ranjang dan merenungkan hubungan keluarga itu. Bagaimanapun, dirinya terbuat dari kebencian, sehingga dia selalu percaya kalau perasaan cinta hanyalah sebuah ilusi. Tetapi ketika melihat perasaan tulus sang Ratu, Seid pun memercayai kalau cinta bukanlah ilusi.

Meskipun berada di tengah kegelapan, perasaan itu masih bisa menuntun. Karena perasaan itu tak perlu dirasakan dengan mata dan telinga. Seid memercayai hal itu. Lalu sesuatu terbesit di kepalanya.

Mungkinkah Geron tengah tersesat, dan membutuhkan seseorang untuk menariknya keluar dari kehampaan itu? Jika Seid berhasil membunuh Geron nanti, apakah ada yang berubah? Tentu saja tidak. Lantas, jika tidak akan ada yang berubah, maka Seid sebaiknya tidak perlu membunuh Geron? Apakah itu adalah yang terbaik?

Paginya, sebelum matahari terbit, Seid pergi ke tebing yang berada tidak jauh dari istana. Tidak seperti saat pertama kali menginginkan kekuatan untuk menghabisi Geron, kini dia bisa merasakan setiap bagian tubuhnya dan dapat melakukan apapun sesuai yang diinginkannya. Tanpa perkataan, tanpa menguatkan tekad, dia melompat dari tebing. Dan satu kedipan mata kemudian yang melayang di udara adalah naga hitam dengan ukuran yang sangat besar, lebih besar dari naga manapun yang ada di muka bumi.

The WizardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang