Bab 11 - Sabbara

364 68 12
                                    


Di dalam Kerajaan, tengah terjadi kehebohan besar. Pangeran pulang dari kunjungannya ke pulau Grend, pulau terbesar kedua setelah pulau Bandok, membawa seorang bocah yang tampak sekarat. Anak itu hampir tidak bernapas dengan luka bakar yang memenuhi tubuhnya. Tapi yang membuat heboh bukan hal itu, melainkan luka bakar parah anak itu yang hampir sembuh keesokan paginya.

"Anak itu pasti jelmaan monster," gumam sang penasihat Raja, bicara kepada Pangeran. "Tuanku, sebaiknya anak itu dibiarkan tenggelam saja, tak usah ditolong! Lagipula, kenapa seorang anak bisa tenggelam di tengah laut lepas tanpa ada apapun di sekitarnya?"

"Makanya, kalau kau tidak mendengar ceritaku yang sudah kuulang berkali-kali, sebaiknya waktu itu kau ikut denganku ke pulau Grend!" tukas Pangeran kesal. "Kubilang, waktu itu aku melihat Geron di langit, dan dia menyemburkan api, menjatuhkan anak itu. Walau tempatnya jauh, tapi manusia bersayap itu sudah pasti Geron, dan dia mulai menyerang anak-anak! Mengerikan!"

Pangeran tidak menunggu respon sang penasihat dan berbelok, membiarkan si penasihat melanjutkan kerjanya ke tempat yang berbeda dengan tempat yang dituju Pangeran.

Pangeran adalah seroang pemuda berusia tujuh belas tahun. Dia masih muda, tapi tatapannya sudah cukup menunjukkan kebijaksanaan, hasil dari keisengannya yang selalu menyusup keluar istana dan menemukan kenyataan yang mengerikan. Pangeran tak pernah membiarkan dirinya berada di dalam sangkar emas, maka ia pun terbang ke luar.

Tubuhnya tegap dan wajahnya tampan. Kulitnya cukup terjemur matahari, tidak seperti kulit anggota keluarganya yang lain yang putih pucat karena jarang disentuh cahaya matahari. Dia pun sudah terbiasa membantu warga pasar untuk mengangkut kotak-kotak berisi sayuran, sehingga tubuhnya tidak kurus dan lemah maupun gemuk seperti babi.

Sekarang dia tak punya waktu untuk turun ke kota, dan dia sudah berencana untuk mengunjungi si bocah yang terluka. Anak itu pasti terkejut ketika sudah bangun. Para pelayan sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian terbaik yang ada di Kerajaan. Tapi Pangeran khawatir anak itu akan merasa risih, sehingga dia hanya dipakaikan kemeja dan celana panjang yang simpel, walaupun dibuat dari bahan kualitas tinggi.

Anak itu pun pasti akan terkejut karena suasana di sekitarnya. Ruangan yang serba putih dengan ornamen berwarna emas dan elegan. Pasti dia merasa dirinya sedang bermimpi. Pangeran tertawa kecil ketika membayangkannya.

Namun sangat mengejutkan ketika menemukan ranjang yang kosong. Tak ada siapapun di sana, dan Pangeran hampir saja berteriak cemas kalau dia tidak melihat sesosok bayangan di balik gorden.

Ruangan itu cukup besar, dengan salah satu dinding adalah jendela besar. Anak itu bersembunyi di pojok ruangan di balik gorden, meringkuk seperti kedinginan. Pangeran mendekatinya.

"Apa kau ketakutan? Tenanglah, di sini aman!" bujuknya. Pangeran mengulurkan tangannya. "Aku temanmu."

Anak itu tidak menghiraukannya. Dia memiliki mata yang kosong, penuh kehampaan. Tak ada cahaya di sana. Dia bahkan tidak melihat maupun mendengar Pangeran. Akhirnya Pangeran menyentuh pundak anak itu.

"Jangan sentuh aku," bisik anak itu. Pangeran sedikit kaget mendengar anak itu mendadak bicara, dan ia pun terhenti. "Menjijikkan."

"Apakah aku menjijikkan bagimu?" tanya Pangeran lembut, tidak tersinggung sama sekali. Dia menjauhkan tangannya dari tubuh anak itu, berharap hal itu akan membantu si anak.

"Bukan," jawabnya. "Akulah yang menjijikkan."

Mungkin sang Pangeran terkejut, tapi wajahnya tetap tersenyum seperti sebelumnya. Dia tidak menampakkan emosi apapun. "Kenapa kamu beranggapan begitu?" tanyanya. Anak itu sekilas tampak tidak mau menjawab, tapi dia tetap bercerita.

"Kaummu tercipta dari keserakahan, tapi kaumku tercipta dari kebencian. Apa yang bisa kulakukan hanyalah membenci. Aku membenci segalanya. Aku membunuh semua yang kubenci. Ketika aku menemukan seseorang yang tidak kubenci, kuharap aku sudah berhasil. Tapi ternyata, pria itu membenciku. Benar, pasti dia membenciku. Karena akulah yang membunuh orang-orang yang disayanginya."

Pangeran terdiam, tidak tampak ngeri ataupun menganggap anak itu gila. Anak itu masih belum menatap Pangeran. Pangeran kembali menyentuh pundak anak itu. "Kau sama sekali tidak menjijikkan," hiburnya. "Bagaimanapun, pada akhirnya kau menyesal, bukan? Seperti apapun kesalahan yang kaubuat di masa lalu, asalkan kau sudah menyesal dan bersiap menebusnya, semua tidak masalah."

"Ini tidak sesederhana yang kaupikir."

"Tidak, tentu saja ini sederhana."

Anak itu terdiam. Dia tak mengerti pemikiran manusia itu. Apa maksudnya?

"Semua masalah itu sederhana," ucapnya lembut. "Tak ada yang rumit. Karena semua masalah itu sederhana, maka penyelesaiannya pun sederhana. Tak perlu memikirkan hal yang rumit. Semua pasti bisa selesai, tergantung caramu menghadapinya."

Bukannya termotivasi, anak itu justru semakin membenamkan wajahnya ke lutut. "Tidak mungkin. Semua orang pasti ingin membunuhku, termasuk pria itu. Segalanya hanya bisa kutebus dengan kematian."

"Tidak! Tak semua hal bisa selesai dengan kematian. Apakah dengan itu kau bisa mengembalikan semua yang sudah terjadi? Tidak, tentu tidak bisa," kata Pangeran, berusaha keras menghibur anak yang terpuruk itu.

"Sekalipun tidak bisa menyelesaikan masalah, semua pasti tetap akan membunuhku," katanya muram. "Kamu pun jika tahu siapa aku sebenarnya, kau pasti ingin membunuhku."

Pangeran berpikir sejenak, lalu memantapkan hatinya. "Tidak," jawabnya. "Aku berjanji, aku tidak akan membunuhmu."

Anak itu mengerutkan wajahnya, tampak seperti ingin menangis, lalu dia mencengkeram lengan Pangeran, menatap matanya. "Kau tidak mengerti, anak muda!" teriaknya dengan suara berat dan serak. "Aku adalah Sabbara! Naga yang dikira semua orang sudah mati! Aku dengan liciknya menyembunyikan wujudku menjadi bayi dan membaur dengan manusia! Aku... aku!"

Masih dengan wajah tanpa emosinya, Pangeran menatap anak itu lekat-lekat. Dia tidak menampakkan rasa takut maupun terkejut. Pangeran tidak menjawab, membiarkan anak itu mencoba untuk menyelesaikan kalimatnya.

"Aku..." ucapnya pelan. "Aku sudah mengkhianati orang yang kusayangi."

Entah cuma perasaan, atau bukan, tiba-tiba saja bau karat logam menguar memenuhi udara. Bau yang tidak enak. Mungkin itu adalah cerminan pikiran negatif sang naga. Rasanya aura negatif memenuhi ruangan itu, menyelimuti sang Pangeran, menghimpitnya ke tengah rasa sesak.

"Sebutkan namamu," perintah Pangeran tiba-tiba.

"Sabbara," bisik anak itu.

"Bukan, namamu bukan Sabbara. Siapa namamu?" desak sang Pangeran ngotot.

"Sabbara."

"Bukan! Itu adalah nama naga yang menghancurkan kota di dekat pantai di pulau Bandok. Kau adalah anak berusia belasan yang berusaha membahagiakan orang yang kausayangi. Siapa anak itu? Siapa? Siapa namamu?"

Kini Pangeran muda yang awalnya tampak seperti manusia biasa mulai terlihat sedikit bercahaya. Anak itu terdiam, menatap Pangeran. Perlahan-lahan cahaya kembali ke dalam matanya, dan air mata mulai keluar dari matanya.

"Namaku Seid."

The WizardWhere stories live. Discover now