Bab 7- Omong Kosong

511 70 5
                                    


Kehangatan mengaliri seluruh tubuhnya, mengisi kekosongan hatinya. Seid tengah berdiri di tengah kegelapan, tidak ingat bagaimana dia bisa berada di sana. Berjalan sejauh apapun, menggapai-gapai kemanapun, yang ada hanyalah kekosongan. Hanya sebuah kehangatan yang menuntun jalurnya. Dia tidak tahu dari mana kehangatan ini berasal, tapi dia merasa nyaman dan aman berada di antaranya.

Kehangatan?

Sebenarnya, kehangatan itu apa?

Seid melihat ke sekeliling, dan yang ada hanyalah kegelapan dan kehampaan. Lalu, kehangatan itu apa? Mengapa bisa berada di antara kehampaan yang mutlak ini? Mungkinkah...

Kehangatan hanyalah ilusi?

Perasaan nyaman ini hanya sebuah ilusi? Bagaimanapun, di manapun, yang ada hanyalah kehampaan.

Bohong.

Semua itu bohong. Cinta hanyalah sebuah ilusi. Jangan bercanda! Semua itu adalah hal yang memuakkan! Kata 'cinta' diciptakan untuk menghibur seseorang. Benar, semuanya hanya untuk menghibur orang-orang yang mencari-cari di tengah kehampaan. Sejauh apapun mencari, yang ada hanyalah lubang kosong yang gelap.

"Seid..." bisik seseorang dengan lembut. Seid membuka matanya. Kanre sedang menggendongnya di punggung. Punggung Kanre terasa lebar dan hangat.

Dia menoleh sedikit untuk menatap wajah bocah lelaki yang kurus itu. "Kau baik-baik saja?"

Seid teringat akan para Pemburu Naga dan Geron... nama itu seolah membakarnya dari dalam. Tapi dia tidak merasakan ledakan, dan hal itu mungkin karena Kanre sedang berada di sisinya, meneguhkan hatinya.

"Ya," jawabnya pelan. "Apakah aku mengigau?"

"Ya, aku membangunkanmu karena khawatir kau sedang bermimpi buruk lagi," jawab Kanre.

Seid tidak mengerti. Kenapa Kanre memperlakukannya seperti ini? Bahkan orangtuanya tak pernah memperlakukannya sehangat ini. Ketika Seid bermimpi buruk dan mengigau dengan ribut, ibunya akan membangunkannya dan memarahinya karena keributan yang dibuatnya.

"Kamu bermimpi buruk?"

"Cuma mimpi aneh," jawab Seid setelah terdiam cukup lama. "Tapi aku sendiri sudah lupa, aku bermimpi apa."

Walau tidak melihatnya, Seid tahu kalau Kanre sedang tersenyum. "Baguslah," katanya.

Saat ini mereka sedang menuruni gunung. Sebentar lagi senja tiba, dan mereka sudah dekat dengan kota. "Turunkan aku, Kanre," pintanya kepada rekannya.

Kanre menggumamkan sesuatu yang sepertinya berbunyi, "Kau masih kelelahan."

Seid pun membiarkan Kanre menggendongnya. Walau tidak mengakuinya, sebetulnya Seid sangat senang digendong seperti ini. Kemudian sesuatu terbesit pada benak Seid.

Pria ini sudah berusia tiga puluhan. Mungkinkah dia pernah punya anak? Tapi itu adalah hal yang tak mungkin ditanyakan Seid, karena itu adalah pertanyaan yang kurang sopan (menurut Seid).

Senja akhirnya tiba bersamaan dengan tibanya mereka di kota. Sesampainya di gerbang kota, langit sudah meredup, dan bulan sabit adalah satu-satunya penghias di langit yang mendung itu.

Mereka berpapasan dengan si penjaga gerbang. Orang itu tampaknya sudah tidak tahan untuk tidur, menunggu temannya yang akan menggantikannya. Dia memandang mereka berdua dengan pandangan meremehkan.

"Cepat pergi, gelandangan!" katanya tidak sopan. Kanre tersenyum ramah, atau mungkin itu hanyalah formalitas.

"Kudengar sekarang para Pemburu Naga sekarang didukung oleh Kerajaan?" tanya Kanre tiba-tiba. Seid bingung kenapa Kanre tiba-tiba menanyakan hal itu. Sang penjaga gerbang sendiri tampaknya tidak terlalu peduli dan mengangguk malas.

The WizardWhere stories live. Discover now