2. Tergoda

2.3K 286 41
                                    

Status baru sebagai seorang suami di usia semuda ini memang tidak pernah aku bayangkan. Tapi, mengingat jika yang menjadi istriku adalah orang yang kini aku cintai, itu sangat terdengar menyenangkan. Aku sudah menyadari perasaan yang awalnya aku pikir tidak mungkin terjadi terhadap Yuki.

Dan sekarang, yang menjadi permasalahannya adalah perasaan Yuki. Istriku itu.

Walau aku tidak pernah menuntutnya untuk segera menjawab, tapi tetap saja rasa penasaran dalam diri begitu ingin mengetahui.

Setelah malam itu, aku seolah membiarkan dia nyaman dengan tetap bersikap biasa, dan itu berhasil. Aku tahu typecal gadis seperti Yuki adalah gadis yang menomorsatukan kenyamanan dan tidak suka dituntut. Cukup menunggu dan jika dia memang sudah mendapat jawabannya, dia akan mengatakan sendiri. Begitulah keinginanku. Tapi, pada akhirnya satu permintaannya membuatku mulai gelisah. Ada rasa ragu jika penantianku ini akan membutuhkan waktu lebih lama.

Siang itu, satu minggu sebelum pernikahan, aku menelponnya. Tujuan utamaku karena entah kenapa aku selalu merindukannya.Cukup mendengar suaranya aku akan merasa senang. Jika saja tidak ada ritual pingit-pingitan itu, aku akan menancap gas pergi menuju rumahnya untuk sekedar melihat, menyapa dan mengatakan bahwa aku sudah tidak sabar menunggu hari pernikahan tiba.
Tapi, nyatanya aku harus menelan kepahitan pertama saat Yuki mengatakan ingin menunda momongan.
Untuk permintaan itu aku cukup terkejut. Aku memang tidak pernah memikirkan hal itu, toh semua akan terjadi jika Tuhan mengizinkan. Tidak masalah memang, karena masalah sesungguhnya adalah kami akan tidur dengan sebuah pembatas. Pembatas yang tidak boleh kami lewati satu sama lain. Aku di wilayahku, dan dia di wilayahnya.

Maksudku, kenapa harus ada pembatas?
Kami sudah halal kan?
Ide seperti itu sungguh di luar nalarku.

Eh, lagipula, sejak kapan tingkah Yuki masuk nalar? Bukankah selama ini dia selalu melakukan hal-hal konyol?
Tapi, aku suka.Cinta memang aneh.

******

Pernikahan tiba. Segala ritual kami jalani dengan baik. Semuanya pun lancar-lancar saja.
Aku bersyukur, Bunda dan Ayahku serta Ibu dan Ayah Yuki bahagia karena perjodohan kami akhirnya berlangsung. Sukses hingga pernikahan dan mudah-mudahan langgeng sampai maut memisahkan.
Tapi, mengingat permintaan Yuki, aku kembali bimbang. Kesepakatan sudah terlanjur aku setujui karena seperti biasa, selalu ada ancaman di baliknya.

" Kalo kamu nggak setuju, aku akan kabur, "

Kalimatnya begitu singkat kan?
Aku bisa apa? Memaksa?
Tidak akan. Sudah jadi kewajibanku membuatnya nyaman.
Pada akhirnya, aku menjawab
" Ya, tidak masalah asal buat kamu nyaman "

Terdengar begitu naif.

-------

Aku sudah melepas semua pakaian yang kupakai beberapa jam selama di pesta. Menyisakan kaus putih dan celana pendek. Harusnya di malam pertama, setiap pengantin akan bahagia dan semangat menemui pasangannya. Namun, sayangnya itu tidak terjadi padaku. Dengan tampang malas aku membuka pintu dan melihat Yuki yang mulai berbaring di atas kasur.
Pakaiannya pun sudah berganti. Bekas make upnya sudah hilang menyisakan wajah naturalnya yang menurutku sangat cantik .

Yuki memang cantik, tidak ada yang meragukan hal itu. Matanya, hidung mancungnya, bibir merah mudanya dan rambutnya. Arghh,,,, kenapa aku justru mendeskripsikannya?
Bodoh.

Jika ini dilanjutkan, mungkin aku tidak akan bisa menahan untuk segera memeluknya dalam tidur atau sekedar mencium dahinya seperti setelah ijab kabul tadi, atau bahkan lebih dari itu.

Tidak, tidak. Aku sudah berjanji dan itu tidak boleh aku langgar.

Bersabarlah Al.

Yuki mengingatkanku untuk tidak melewati batas yang sudah dia tandai dengan sebuah guling beberapa centi dari tubuhnya yang berbaring. Aku mengangguk mengerti, lalu tak lama dia menarik selimut dan memunggungiku.

Mission 2 (✔)Where stories live. Discover now