Fate 13 » Aliran Takdir

343 53 68
                                    

• Ӎ-ӱ ┼ Ӻ-ӑ-ԏ-є •

       Siang berlanjut. Melewati tengah hari, dimana terik makin memperkuat diri. Sampai pada fase menyengat bahkan merebus kulit. Membuat sang gadis menarik tudung jubah pelindung agar terhindar dari serangan sang surya. Hembusan ia lepaskan kala mengingat kata-kata si Fianna. Lelaki itu ada benarnya juga.

       Kini, tubuh pendek yang dimiliki telah melewati gerbang Barat, menyadarkan sang gadis dari lamunan saat bayang-bayang atap gerbang memindai kepala. Ia berhenti sebentar untuk melirik sekitar seraya memutar tubuh ke segala arah―menyaksikan lalu-lalang individu-individu Uruk maupun dolmen-dolmen usang bahkan reyot layaknya orang tersesat. 

       Zamrudnya menatap ke dalam gerbang, meneliti cukup lama demi mendapati segelintir khalayak apik―tengah bersenda gurau, bercakap-cakap, atau sekadar menjalankan bisnis pasar. Adapun bangunan-bangunan tingkat satu bergaya monoton beserta jalan halus dari kersik terbaik. Elok dipandang.

       Kemudian, kedua netra beralih ke luar, menyusuri sepanjang jembatan batu pasir selebar kurang lebih 7 meter yang berujung pada daratan seberang. Daratan tandus dengan beberapa cuatan pohon kelapa yang menjulang tinggi. Berbeda dari dalam dinding, bangunan-bangunannya hanya berupa rumah-rumah berbentuk asal beratapkan anyaman pelepah. Suasana ini hampir sama seperti di Nibru, namun jauh lebih ramai dan damai.

       Saber beranjak dari depan gerbang begitu disoraki oleh seorang kusir karena menghalangi jalan. Kakinya menapaki badan jembatan, ditambah antusiasme kedua zamrud. Ini luar biasa, batin gadis itu. Terkadang ia menoleh ke kiri dan kanan, menyaksikan para sampan kayu serta beberapa rakit sederhana berkeliling di permukaan Sungai Eufrat.

       Tak terasa, tanah seberang telah tersentuh, membawa dirinya untuk berhenti sejenak di samping tugu batu raksasa. Manik zamrud kembali meneliti sekitar lalu melihat tiga ekor hewan berpunuk yang nampak asing di mata. Begitu dua darinya―yang ditarik seorang gembala dengan tubuh bagian bawah berlapiskan kain putih―melintas pelan di depan, ia spontan bertanya, "Apa itu jerapah atau alpaka?"

       Si gembala berhenti sejenak, membiarkan hewan-hewan bawaan mengunyah malas, bahkan sesekali meludah sembarangan. "Apa yang kau bicarakan, Tuan? Ini unta," jawab lelaki paruh baya tersebut sebelum menggeleng heran dan melanjutkan langkah, meninggalkan sang gadis yang melirik tak terima. "Dia barusan memanggilku Tuan?" 

       "Jangan salahkan orang tua itu," sahut seseorang, membuat sang gadis sontak berbalik dan mendengus, "Berkacalah dahulu sebelum berkata. 'Tuan'."

       Mengabaikan penampilannya yang terbilang jauh dari kata 'feminin', Saber bersedekap setelah menyibak pangkal jubah agar tak ikut terlipat. Memamerkan pedang pemberian Tammuz di pinggul kanan, kaus lengan panjang berlapiskan baju halkah, beserta celana kain yang berujung pada bot kulit berpasir. "Bukan kau yang akan mengenakan gaun tipis transparan itu!" keluhnya, memancing tawa pemuda Fianna.

       "Namanya tunik, Tuan."
       "Berhenti memanggilku Tuan!" Diarmuid terkekeh. "Omong-omong, mengapa kau mengikutiku?" tanya Saber.

       Si lelaki melebarkan netra kemudian menyeringai. "Kau mengira aku mengikutimu? Percaya diri sekali."

       Sang gadis menggeram, berusaha menahan kekesalan dalam dada. Melihatnya, Diarmuid langsung menghapus cengiran jahil dari wajah. "Er... Aku hanya penasaran, kau tahu. Jadi tidak ada salahnya, kan, jika aku mengikutimu. Ini Uruk bukan Irlandia, mungkin berkeliling merupakan hal yang bagus, bagaimana?" ucap pemuda itu cepat sembari tersenyum lebar, memperjelas kekonyolannya.

       Saber memutar bola mata seraya menghembus berat. Mengakibatkan lelaki Fianna melirik malu―takut apabila sang gadis masih marah.

       Si pirang beranjak melanjutkan langkah meniti pinggiran sungai. Diarmuid lantas mengekori begitu kecanggungan menghampiri.

My FateWhere stories live. Discover now