Fate 11 » Jamuan Hangat

290 58 33
                                    

• Ӎ-ӱ ┼ Ӻ-ӑ-ԏ-є •

       Hari berganti, menjadi hari yang dinanti-nanti. Momen dimana sang raja menjamu para tamu dari Barat telah tiba. Sebagai pemimpin dari Uruk yang luar biasa, tentu ia ingin kesempurnaan dalam hal ini, walau tetap dalam konteks kesederhanaan.

       Penari-penari terbaik kerajaan ditampilkan demi menghibur para tamu dengan gerakan-gerakan indah nan gemulai mereka. Hidangan terlezat pun tak ketinggalan, tersajikan dengan rapi oleh para wardum—yang mondar-mandir mengawasi bila saja ada meja kosong melompong.

       Meski begitu, sang raja lebih membanggakan minuman khas kerajaan, iskaranu. Aroma buah dan tannin, kedalaman rasa, keasaman yang pas, serta lamanya rasa minuman tersebut mengecap di lidah, membuat para tamu menggilainya. Bahkan, tak sedikit pendatang dari Benua Barat yang memuji hingga bertanya-tanya dimana serta bagaimana cara pembuatan minuman khas Uruk itu.

       Namun, dibalik segala kenikmatan tersebut ikut tersaji pula belasan nyawa pemberani yang rela berkorban demi jamuan hangat sang raja. Mengingat perjalanan mematikan mereka beberapa hari lalu membuat seorang gadis pirang mengepalkan tinju hingga memutihkan buku-buku jari. Terlihat jelas dari wajah pucatnya, ia tak ingin berada di aula besar dan luas ini. Muak akan segala ingar-bingar malam hari, Saber bersikeras menyembunyikan diri di sudut, terlindungi oleh bayang-bayang paviliun yang senantiasa menggelapkan kehadiran sang gadis.

       Manik zamrudnya terlalu sibuk meneliti setiap pergerakan liar para tamu. Menit pertama ia habiskan dengan kilat tak mengenakkan, lalu di menit selanjutnya ia menggumamkan kekesalan dalam diri. Rasa bersalah yang menumpuk, menyebabkan sang gadis memilih diam bagai patung, segan menghibur diri.

       Jauh di depan, tepatnya di atas panggung—letak meja sang raja berada, nampak sang pangeran tengah menebar pandang, mengabaikan semua yang tersajikan depan mata. Terkadang tampangnya dingin, terkadang juga gelisah. Sampai sepasang delima yang dimiliki terpaku pada satu titik. Hal ini tentu saja menarik atensi si surai hijau untuk mendekat perlahan. 

       Akan tetapi, langkah Enkidu terhenti begitu melihat Gilgamesh bangkit dari kursi kebesarannya, sedikit mengejutkan beberapa orang—termasuk sang raja itu sendiri—akibat suara hentakan keras. Rautnya tampak kesal kala berjalan menuruni panggung, dimana sang sahabat menyambutnya.

       "Ada apa, Gilgamesh?" tanya Enkidu khawatir dengan ledakan emosi sang pangeran. Netranya meniliti sosok di depan. Jubah gelap melapisi tubuh jangkung nan sempurna itu, berhiaskan jahitan benang-benang emas pada setiap sela, diikuti kain tunik merah yang tersampirkan dari bahu tegapnya. Ia hanya heran. Dalam benak, Enkidu menduga-duga, tetapi keraguan masih menghalangi. Malam ini, Gilgamesh terlihat seperti ingin tampil sempurna. Kalau memang demikian, ia tak perlu repot-repot memperbaiki penampilan jika para kaum hawa saja sudah tergila-gila padanya sejak awal.

       "Gilgamesh," panggil Enkidu sedikit lebih nyaring lantaran kalah dari kebisingan. Namun, si pemilik nama mulai memasuki mode tuli dan tetap membisu. Memaksa Enkidu agar terus mengekorinya.

• Ӎ-ӱ ┼ Ӻ-ӑ-ԏ-є •

       "Siapa yang menaruh patung disini? Menghalangi jalan saja," seru seseorang, mengagetkan sang gadis.

       Pecah dari lamunan, Saber menggerutu, "Jadi mengejutkan orang adalah hobimu. Cukup hebat, Tuan Darmud—"

       "Diarmuid," ralat orang itu cepat, untuk kesekian kalinya, lalu tertawa kecil. Membuat sang gadis meminta maaf akibat dikurung rasa malu. "Ada apa dengan wajah keruhmu itu?" Lelaki Fianna berjalan mendekat, bahkan menempelkan punggung pada dinding batu nan dingin, mengikuti posisi sang gadis yang setia bersedekap sejak tadi.

My FateWhere stories live. Discover now