Fate 18 » Marionette

174 35 15
                                    

• Ӎ-ӱ ┼ Ӻ-ӑ-ԏ-є •

       Keesokan harinya, kabar kemunculan sekelompok pembunuh di Taman Gantung baru sampai ke telinga Enkidu. Ia terkejut karena simbol merah yang terekspos di salah satu betis penyusup―ketika ikut memeriksa jasad-jasad bertopeng tengkorak yang mulai dipindahkan dari taman terindah Uruk. Ditambah pengakuan Saber pagi itu yang menyatakan bahwa merekalah pembasmi para redum saat pencarian kereta pemasok iskaranu beberapa hari lalu. Tetapi anehnya, mengapa Gilgamesh tak menyinggung sedikitpun perihal ini?

       'Mungkin mereka datang di saat yang tidak tepat,' pikir Enkidu mengelus dagu. Ia pun memaklumi sikap sang pangeran semalam. Lelaki mana yang tidak marah begitu kencannya diganggu. Terlebih lagi dalam bentuk penyerangan dadakan.

       Surai-surai pirang menyembul dari balik akasia. Pemiliknya berjalan mendekati Enkidu sembari sesekali menengok ke belakang, dimana gabungan belasan wardum dan prajurit Uruk berlalu-lalang membawa tubuh-tubuh tak bernyawa menuju dokar-dokar siap angkut. "Totalnya 28," ucap Saber, mengistirahatkan telapak kiri―yang berlapis sarung tangan berbahan kulit―di pangkal pedang pemberian Tammuz.

       Enkidu memasang senyum sekaligus melirik lengan kiri gadis itu. Selera berpakaian baru kalau bisa dibilang. "Kau merasa lega?"

       Saber menoleh. "Maksudmu?"

       Si ramah bersedekap, memandang ke arah 28 mayat―yang entah akan dibuang, dibakar, atau dijadikan makanan singa sang pangeran―sebelum melebarkan senyum. "Kau bilang mereka pelakunya. Jadi, dendam terbalaskan. Hore!" ungkap Enkidu, berpura-pura riang demi menghibur sang gadis.

       Saber tanpa sadar mengangguk setuju. Ada benarnya juga. Merupakan sebuah kebohongan bila ia tak menyimpan dendam terhadap pembunuh-pembunuh berdarah dingin seperti mereka. Ya, setidaknya dia bisa lega sekarang setelah mengetahui Tammuz, Agru, dan redum lain akhirnya tenang di alam sana. Namun, keganjilan masih ia rasakan. "Aku rasa jumlah mereka waktu itu lebih dari ini."

       "Tak usah khawatir," Enkidu menepuk pelan pundak sang gadis, "Uruk adalah tempat teraman. Kejadian ini takkan terulangi kembali." Masalah sebenarnya ialah bagaimana cara mereka memasuki Uruk tanpa terdeteksi. "Omong-omong, aku bersyukur kau baik-baik saja," lanjut si ramah beralih topik. "Kini, aku tahu alasan perubahan suasana hati Gilgamesh."

       Mendengarnya, Saber sontak menunduk sambil memainkan mata gagang pedang berupa sebiji zamrud gelap seukuran buah ceri. Licin dan halus hingga terasa seperti menyentuh sutra yang memuaskan indra peraba. "Barangkali, bukan cuma mereka penyebabnya," Iris hijau terang milik sang gadis perlahan terangkat, menatap si ramah yang tengah menyimak, "Itu aku."

       Alis Enkidu bertautan.

       "Aku, secara tidak sengaja, membuatnya marah tadi malam," jelas Saber dipenuhi rasa bersalah. Lalu, ia berpaling ke dokar-dokar pengangkut yang mulai bergerak pergi. "Aku berencana meminta maaf, tapi kelihatannya aku lebih baik mencari tahu dulu. Mungkin saja ada perkataan atau tindakanku yang salah."

       "Benarkah?" ujar Enkidu seakan tak percaya. Sedangkan sang gadis sekadar membalas dengan anggukan. "Coba biarkan saja dulu. Siapa tahu suasana hatinya perlahan membaik." Di satu sisi ia berniat membantu dan meluruskan permasalahan yang ada. Sementara di sisi lain, ia merasa agak lancang jika mencampuri urusan keduanya. Alhasil, si ramah memilih bungkam kali ini. Selain itu, ada hal lain yang ingin ditanyakan. Tentunya menyangkut sang gadis. "Saber," panggil Enkidu setelah lama membisu bersama angin. Yang dimaksud seketika melupakan penyesalannya dan memerhatikan sahabat sang pangeran.

       "Siapakah kau sebenarnya?" tanya si surai hijau berubah serius. "Kejujuranmu akan sangat berarti bagiku," tambahnya kala sang gadis hendak berkilah.

My FateWhere stories live. Discover now