Fate 1 » Mengundang Sang Pangeran

754 110 25
                                    

• Ӎ-ӱ ┼ Ӻ-ӑ-ԏ-є • 

       Mentari membanjiri bumi dengan teriknya. Hiruk pikuk turut hadir mengambil peran, mengisi kegiatan jual-beli masyarakat yang meramaikan pusat kota. Saling bertukar interaksi satu sama lain ialah aktivitas yang disuguhkan. 

       "Hei, kau tahu?" tanya seorang paruh baya, "Kabarnya, hari ini Dorf mendapat kunjungan dari kerajaan."

       "Benarkah?" sahut si lawan bicara, "Aku belum mendengar hal ini sebelumnya."

       Alhasil, si paruh baya kembali bersuara diantara kerumunan kecil yang terbentuk sejak tadi. "Yah ... nampaknya itu hanya jadi kabar, tak akan pernah terwujud." Kalimat tersebut sukses menyulut rasa penasaran setiap orang yang mendengarnya. Dengan segera pria renta itu melanjutkan, "Maksudku kalian tahu, kan? Kita ini di perbatasan." Seketika, kemurungan melanda setiap wajah di kelompok kecil tersebut.

       Akan tetapi, salah satu dari mereka segera mengundurkan diri dari pembicaraan hangat di siang itu. Salah seorang yang nampak mencurigakan sekaligus asing, namun terabaikan. Sosok aneh yang rela mengenakan tebalnya jubah asfar di hari yang panas ini demi menutupi sekujur tubuhnya.

       "Jadi, begitu..."

       Panasnya hawa membuat pori-pori mengeluarkan seluruh cairan ekskresi yang dikandung. Sementara si aneh masih berpegang teguh pada sepasang kakinya yang setia menciptakan jejak di tanah.

       "Hei, kau yang disana! Mari kesini!" panggil seseorang setelah belasan langkah dilakukan. "Lihatlah buah-buah ini, masih segar," tawarnya.

       Tanpa pikir panjang, si aneh mendekati pria tersebut. Walau badan besarnya tidak mencerminkan seorang pedagang buah sekalipun, wajah ramah yang terpampang mampu mengalahkan segala argumen si aneh.

       "Sepertinya kau terlihat asing," ujar si pria setelah menebar pandangan, "Kalau begitu, akan kuberikan potongan harga untukmu. Bagaimana?" Namanya seorang pedagang, tawar-menawar dalam jual-beli sudah menjadi keahlian tersendiri.

       Merasakan buah segar dengan harga murah tidak buruk juga, tetapi amat disayangkan. Saat ini, bukan itu tujuan si aneh mendekati lapak si pedagang. "Maaf, aku bukan ingin membeli buahmu," balasnya sendu. Tentu raut kekecewaan menggantikan wajah ramah si pria. "Boleh aku bertanya beberapa hal?"

       Setelah pertimbangan yang amat panjang di kepala, si pria mengangguk. Lagipula, sudah sepatutnya hal ini dilakukan pada para pendatang. 

       "Baiklah, apa itu?"
       "Apa kota ini berada dalam kawasan sebuah kerajaan?" 

       Si pedagang terbahak mendengar pertanyaan polos yang terlontarkan. Meski pendatang, namun tak ada seorangpun yang tak tahu-menahu tentang Uruk dan kebesarannya.

       "Hei, pengembara. Aku tak tahu darimana asalmu, tapi kau sungguh belum pernah mendengar apapun tentang Kerajaan Uruk?" Si aneh yang dijuluki pengembara pun menggeleng pelan, seiring dengan dengusan panjang si pedagang. "Baiklah, aku akan memberitahumu. Kerajaan Uruk merupakan kerajaan terbesar dan paling makmur di benua ini. Banggalah kau dapat menapakkan kakimu disini," jelasnya sedikit ketus.

       Menggangguk pun rasanya tak enak bagi si pengembara setelah menangkap jawaban si pria.  Salahkan otaknya yang tak mengingat apa-apa. Kehabisan kata-kata, sosok aneh itupun memilih merangkai topik baru. "Er ... kalau begitu, tadi, aku mendengar utusan kerajaan akan berkunjung. Apa itu benar?"

       Raut kekesalan akhirnya dapat terganti oleh keingintahuan. "Kau tahu darimana?" tanya si pedagang, mengintrogasi.

       "Ah, a-aku tadi mendengarnya dari seorang paruh baya," jawabnya jujur walau sedikit terbata-bata.

My FateWhere stories live. Discover now