Fate 2 » Undangan Diterima

575 92 14
                                    

• Ӎ-ӱ ┼ Ӻ-ӑ-ԏ-є • 

       Hentakan demi hentakan bergema memenuhi kesunyian di sepanjang lorong. Surai-surai hijau tiada henti bergerak seiring langkah sang kaki. Langkah yang mengandung ketergesaan di dalamnya. Keseriusan pun turut serta menghiasi wajah ramah yang dimiliki.

       Selang beberapa lama, sosok tersebut sampai di tempat yang dituju. Pintu dua daun di hadapanlah buktinya. Tangan terulur demi menciptakan ketukan pelan beruntun. Berharap si penghuni dapat mendengar dan membukakan pintu untuknya. Namun, harapan hanya bisa jadi harapan.

       Rasa kesal yang tumbuh akhirnya membuat sosok tersebut angkat bicara. "Gilgamesh, kau di dalam?" tanyanya sembari sesekali mengetuk sang pintu, sedikit lebih keras. "Gilgamesh!" panggilnya lantang. Namun angan-angan mendengar jawaban, sahutan, atau semacamnya hanya bisa jadi harapan belaka.

       Cukup dengan usaha yang sia-sia membuat lengannya beralih, meraih gagang pintu kemudian membukanya perlahan. Dengan tegas, tubuh itu tergerak untuk menebar pandang ke dalam ruangan yang cukup luas. Demi mendapati tubuh lain yang sedang terkapar di atas empuknya sofa klasik nan mewah. Tepat di bawah satu-satunya jendela raksasa di ruangan tersebut.

       Si surai hijau lebih memilih mendekat daripada membuang-buang suara. Langkah halus sukses membawanya ke hadapan sosok yang tengah merehatkan tubuh di sepanjang teriknya siang. Wajah letihnya tak terlihat berkat sebuah buku yang bertengger disana. Tanpa ditanya pun sosok itu pasti sedang menikmati kedamaian saat ini.

       Tiada respon maupun reaksi, akhirnya dapat meluluhkan tekad si surai hijau untuk membangunkannya. Berniat pergi, tetapi sebuah suara menghentikan.

       "Ada apa, Enkidu?"

       Sosok berparas bak wanita itu pun bergegas untuk membalikkan tubuh, menghadap sosok yang masih setia dalam posisi tidurnya. "Gilgamesh. Aku mengira kau sedang tidur," balasnya.

       "Tadinya."
       "Oh, apa aku mengganggu waktu damaimu?" tanya Enkidu yang merasa tak enak. 

       Akan tetapi, sosok bernama Gilgamesh ini, menyingkirkan buku penghalang wajah yang selalu dipuja-puja kaum hawa tersebut dan bangkit meninggalkan kedamaiannya. Sepasang iris ruby sepekat darah memamerkan pesonanya begitu kelopak mata terbuka. "Jadi, ada apa?" tanyanya lagi sembari mengerjap beberapa kali untuk menyempurnakan pengelihatan.

       Berkurangnya rasa segan tadi, membuat si surai hijau menyampaikan maksud kedatangannya. "Ada masalah di perbatasan."

       Kepala bersurai emas itu sedikit dimiringkan demi mengurangi rasa pening yang sempat melanda. Lalu kedua netra kembali terbuka, menatap lelaki di hadapannya, mengisyaratkan untuk melanjutkan pembicaraan.

       "Kota kecil Dorf lebih tepatnya," ucap Enkidu, sama sekali tidak menumbuhkan antusiasme si pirang. 

       "Kalau begitu, kenapa tidak kau urus saja," jawab sang pangeran seraya melambaikan tangan, "Seharusnya ini bukan masalah yang sulit, kan, Enkidu."

       Tak mau kalah, lelaki berparas cantik itu kembali mengangkat suara, lebih tegas dan lantang, "Terjadi pemberontakan, Gilgamesh!"

       Sang pangeran terdiam, sedikit mengikuti alur pembicaraan. Namun, belum cukup untuk membangkitkan gelora dalam dirinya. "Dengar, kuserahkan masalah ini padamu. Atau, kau juga bisa menyerahkan masalah kecil ini pada yang lain." Tangannya terangkat, membiarkan jari-jari mengurut kedua pelipis tatkala rasa pening kembali menerjang.

       "Gilgamesh, ini bukan masalah 'siapapun bisa mengatasi pemberontak tersebut', tapi ini masalah bagaimana supaya reputasimu meningkat," ujar Enkidu, "Ingat, kau adalah Putra Mahkota. Penting bagimu untuk menarik kepercayaan rakyat."

My FateWhere stories live. Discover now