5. Sahabat? Baper?

267K 26.5K 704
                                    

Langit cerah, biru-biru manja. Awannya juga putih pekat, tetapi wajah sahabatku ditekuk dan pandangannya sangat serius memperhatikan para mahasiswa yang berlalu-lalang di kantin sambil bertopang dagu dan bibirnya membentuk garis lurus. Aku menyeruput jusku sambil memperhatikan Wulan yang galau.

Jadwal hari ini cuma dua mata kuliah. Mata kuliah pertama jam sepuluh, dilanjut mata kuliah kedua jam satu siang. Berhubung sekarang masih jam sembilan dan belum ada pemberitahuan di grup chat kalau dosen sudah ada di kelas, aku dan Wulan memilih mengganjal perut dulu. Hanya aku yang makan karena Wulan dari tadi galau terus.

"Ulan, kenapa sih?"

Wulan menghembuskan napas, mengusap-ngusap wajahnya dengan raut sedih tak terkira. "Kelar, Za. Kelar."

Dahiku berlipat bingung. "Apanya yang kelar?"

"Gue sama Lian kelar," cicitnya sedih.

Aku melongo, sedikit tidak percaya saja kalau Wulan sama Lian sampai berakhir. Aku dengar dari cerita Wulan, dia sama Lian itu sudah pacaran dari kelas tiga SMA. Bahkan Wulan rela LDR karena Lian menempuh Akademi Militer di luar Jawa Barat.

"Lo gak lagi akting kan, Lan?"

Bukannya menjawab, Wulan malah nangis. Aku biarkan saja karena terkesan dibuat-buat, ternyata beneran jatuh air matanya. Dia meraung-raung mengumumkan penyesalannya karena sudah memutuskan Lian.

"Lo tuh baru putus sama pacar udah kejer, apalagi diceraikan suami nanti. Gue takutnya lo bunuh diri, Lan. Lagian lo kan yang minta putus, terus kenapa malah lo yang nangis?"

"Abisnya gue kesel sama dia, kita komunikasi jarang. Sekalinya komunikasi itu malem, dan gue suka ketiduran."

"Ya lo kan udah tau konsekuensi pacaran sama Lian itu gimana? Harusnya lo harus lebih berbesar hati, Lan."

Wulan membulatkan bibirnya, tatapannya seakan-akan tidak setuju dengan pendapatku. Memang, setiap wanita itu ingin diperhatikan oleh pasangannya. Apa pun itu bentuknya, sekecil apa pun perhatiannya. Rata-rata wanita menyukai laki-laki yang seperti itu. Tetapi keadaan Wulan dan Lian itu tidak sama seperti pasangan pada umumnya. Lian dengan kesibukannya mengikuti berbagai kegiatan di Akademinya, sementara Wulan adalah wanita yang santai dalam kesehariannya.

"Kalau gini caranya, impian gue buat nikah abis wisuda gagal total dong?"

Aku mencebik, seperti ini labilnya orang patah hati. Dia yang minta putus malah dia sendiri yang uring-uringan. Kalau bukan sahabat, sudah aku ceburkan dia ke selokan. Gemas, sumpah! Aku saja yang pernah di duakan tidak sampai se-stress Wulan.

Berbeda dengan Wulan, pilihanku sesudah wisuda itu dua. Antara S2 dan kerja. Apa pun yang pertama datang, berarti itu yang terbaik.

"Lo tuh aneh. Kalau masih cinta ngapain lo putusin, Lan?"

"Kan gue udah bilang, gue bosen, Za. Hubungan gue sama Lian tuh monoton. Ketemu aja susah."

"Ya udah, derita lo."

"Ih, Khanza!" teriaknya mengunyel-unyel pipiku.

"Apa salah dan dosaku sayang, cinta suciku kau buang-buang."

Aku malah menggodanya dengan menyanyikan lagu dangdut yang gak sengaja kudengar dari kamar kos tetangga.

"Dasar, biduan gak laku lo!" makinya melotot.

Aku tertawa, dan Wulan mencibirnya.

Aku kembali menikmati batagor, sementara kubiarkan Wulan yang masih merengek sambil bersandar di bahuku. Dia sibuk dengan ponselnya, aku iseng melirik apa yang sedang dilakukannya. Ternyata oh ternyata sedang membaca ulang chat dia dengan Lian.

Dosen Idola (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang