23. Wo Ai Ni

201K 20.3K 1.2K
                                    

Di bawah guyuran hujan, aku melihat dua orang sedang memadu kasih seolah ingin membuktikan pada setiap rintik hujan yang menetes dari langit kalau mereka sedang menikmati masa kebersamaan dengan perasaan bahagia. Satu payung berdua, kurang romantis apa coba? Ah, romansa. Kadang sulit ditoleransi.

Tubuhku membeku saat kedua anak adam itu berbalik badan, seolah mengejekku yang tadi mengagumi mereka. Lelaki itu? Ya lelaki yang menawariku komitmen dalam sebuah hubungan itu, kini berangkulan dengan seorang wanita. Wanita yang sama dengan wanita yang dulu melabrakku dua kali.

Arkan dan Intan

Kemarin, aku memang merasa bersalah karena bercanda terlalu jauh dengan Fajar hingga akhirnya tercyduk Arkan. Tapi, haruskah seperti ini balasannya? Aku meraba dadaku yang sesak. Rasanya ingin sekali aku melempar converse yang kupakai ke wajah mereka berdua, tapi aku tidak mau dibilang orang gila karena jalan tanpa alas kaki.

"Pak?" panggilku tercekat.

Arkan masih mengulas seringai merendakan padaku. Sedangkan wanita itu tertawa mencibir kebodohanku yang percaya begitu saja akan semua perkataan Arkan yang sok romantis padahal cuma berniat mempermainkan perasaanku.

"Kenapa? Cemburu?" tanya Intan dengan tawa mengejek.

"Maksudnya ini apa, Pak?" Aku gak bisa menyembunyikan getaran dalam suaraku. Hatiku sakit, serius. Entah sejak kapan aku mengharapkan hubungan yang baru seumur jagung ini berjalan mulus hingga akhirnya aku menemukan cinta di dalamnya. Sayang, ternyata ekspektasiku terlalu melambung.

"Bukan cuma kamu yang bisa membuat saya cemburu, tapi saya juga bisa membuat kamu cemburu dengan cara dekat dengan wanita lain."

Enteng sekali dia bicara seperti itu, seolah mempermainkan hati perempuan sudah menjadi hal yang terbiasa dia lakukan. Ya Tuhan, penilaianku tentang lelaki ini patah setelah dengan kedua mataku sendiri dia terlihat tak berhati nurani.

"Lihatkan siapa yang menang?" kekeh Intan jelas mengejekku. "Lo tuh cuma dia jadikan pelarian, camkan itu."

Menelan ludah, rahangku mengetat dan kepalan tangan di samping jahitan celana. Berusaha untuk tidak membalas ucapannya. Masalahku dengan Arkan bukan dengan wanita yang dirangkul mesra Arkan.

"Kalau Bapak memang cuma mau mempermainkan saya, kenapa dari awal Bapak membuat saya melambung? Bapak keterlaluan!"

"Karena kamu tidak menepati kesepakatan kita."

"Ya Tuhan, Pak. Fajar itu teman saya. Meskipun saya memang sempat menyimpan rasa sama dia. Cara Bapak yang seperti ini membuat saya jijik," bentakku, berbalik badan dan berlari sekuat tenaga sebelum ada batu besar yang menghadang langkahku dan terjatuh...

"Sial... Mimpi apaan tuh? Serem amat." Aku mengusap-usap wajahku untuk menghilangkan bayangan mimpi mengerikan itu.

Kenapa di antara ratusan orang yang ku kenal, harus Intan yang masuk ke dalam mimpiku. Ah, aku baru ingat semalam aku lupa baca doa dan ayat kursi jadi setan-setan seperti Intan masuk ke dalam mimpi.

Seperti manusia modern sekarang, bangun tidur kuterus mengecek handphone. Kok mati? Astaga baru sadar, semalaman aku menonaktifkan ponsel saking kesalnya pada Arkan.

Membuka aplikasi WhatsApp. Beberapa pesan masuk, dari kedua orang tuaku, dari adikku yang katanya mendapat peringkat satu di kelasnya. Ada juga pesan dari beberapa grup WhatsApp. Sedangkan dia yang kuharapkan pesannya datang sama sekali gak ada, chat-nya pun tenggelam. Cuma harapan semu ternyata, balasan chat dariku juga hanya dia read.

Menghela napas berat, Arkan sukses membuat mataku memanas dan hatiku ngilu. Dia memang manusia paling menyebalkan.

Kuputuskan untuk mendial nomor Fajar.

Dosen Idola (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now