17. Ketika Hati Cenat Cenut

226K 25.1K 1.1K
                                    

Menutupi setengah wajahku dengan sweater. Tanpa diduga Arkan mengajakku ke kontrakannya. Sehabis maghrib tadi, Arkan menungguku di persimpangan jalan. Kalau jemputnya di depan kos itu namanya cari masalah. Arkan bilang dikontrakannya masih ada adiknya yang baru akan pulang ke Jakarta besok pagi.

"Harus sampai ditutup gitu ya wajahnya?" tanya Arkan di beranda.

"Buat menghindari fitnah. Bapak sih gak pernah tahu sakit hatinya dibilang cewek murahan yang menggoda Bapak," jawabku kesal. "Padahal kalau saya boleh ge'er, saya rasa Bapak yang deketin saya. Tapi..,"

"Bagaimana sikap saya ke kamu sekarang, itu di luar konteks saya sebagai dosen kamu," potongnya. Ada sesuatu yang berusaha Arkan tunjukan di balik tatapannya itu.

"Jadi?"

"Kak Arkan, lama amat sih? Tega ya ninggalin adik cantiknya sendirian di sini. Aku takut ada penyusup yang masuk ... eh, ada tamu?"

Seperti cerita Arkan, gadis cantik blasteran di depanku ini pasti adiknya yang seumuran denganku. Piyama pink hello kitty membalut tubuh idealnya. Cantik. Aku bagai itik buruk rupa jika disandingkan dengannya.

"Rain, kenalin ini Khanza."

Wajah Raina langsung ceria, entah karena apa? Namun matanya menilaiku dari atas sampai bawah. Lalu dengan seulas senyum dia mengulurkan tangannya. "Gue Raina. Adik tercantik yang dimiliki Kak Arkan."

Ternyata sifat adiknya tidak jauh beda sama kakaknya. Sama-sama narsis.

Aku melontar senyum rikuh sebelum menjabat tangannya. "Khanza, mahasiswanya Pak Arkan."

Raina terkekeh sambil menunjuk-nunjuk Arkan. "Emang sih muka tua gini pantasnya dipanggil Bapak."

Arkan menangkap tangan Raina, lalu membekap mulut adiknya itu. "Maaf ya, dia memang gini kelakuannya."

"Gak jauh beda sih sama, Bapak," ringisku.

Arkan menggaruk kepalanya sebentar sambil melepaskan Raina. "Saya nggak senyinyir dia."

Aku hanya mengangguk saja.

"Bikin minum buat tamu Kakak, Rain." Arkan mendorong bahu Raina agar masuk ke rumah. Namun, gadis cantik itu malah menolak dan berkacak pinggang tanpa malu.

"Ogah, Khanza itu tamu Kakak. Buatin minumnya sama Kakak dong," jawabnya dengan nada protes. Lalu menarik lengan kakaknya untuk masuk. "Udah sana bikinin minum, biar aku yang nemenin Khanza ngobrol."

Arkan menahan langkahnya, lalu berbalik badan. "Mau minum apa?" tanyanya padaku.

"Eh, apa aja deh, Pak. Yang penting udah ada label halalnya," ringisku. Rasanya nano-nano pas ditawarin minum tuh.

"Tunggu sebentar ya, kalau Raina bicara apa pun yang menjelek-jelekan saya tolong jangan percaya," katanya diikuti jeritan karena lengannya yang dipukul Raina.

Arkan berlalu masuk, sementara aku dan Raina duduk kursi rotan beranda. Belum ada obrolan di antara kami berdua, saat aku melirik Raina. Gadis itu tertawa sendiri dengan ponselnya.

Nasib jomblo kadang terabaikan!

Baiklah, aku juga membuka ponsel. Bedanya dia mungkin sedang chatting dengan pacarnya, sementara aku membuka line today. Siapa tahu ada update kasusnya Tukang Sulap yang diserang nitizen baru-baru ini.

"Di sini kos, Za?"

Pertanyaan itu mengalihkan fokusku. Mematikan ponsel untuk mencoba ngobrol dengan adiknya Arkan ini. Kurang sopan rasanya bila antara tamu dan tuan rumah tidak ada interaksi.

Dosen Idola (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang