13. Good Night, Khanza

244K 23.1K 750
                                    

Catatan : Karena cerita ini sedang dalam masa revisi (proses penerbitan) makanya aku republish. Ingat, ini bukan cerita baru. Hanya saja aku update kembali biar kalian nggak lupa dengan alurnya.

Aku tuh kadang merasa awkward kalau duduk bersampingan dengan seorang laki-laki. Sama Mang Angkot juga suka awkward, mau bilang kiri pun lidah rasanya kelu. Sudah bisa membayangkan bagaimana ekpresi wajah dan gesture-ku saat ini? Tepat setelah Arkan mulai melajukan Jazz miliknya keluar area Trans Studio.

Padahal sudah dua Kali lho, aku satu mobil dengan Arkan--duduk tepat di sampingnya yang mengemudi. Pertama, pas pulang siaran radio kehujanan. Kedua, tadi siang. Saat berangkat menuju Trans Studio.

Tapi, kali ini berbeda. Aku malu mengingat kejadian tadi, saat Arkan membongkar aibku tiga tahun silam--yang merengek sama Ayah karena dimarahi Bunda. Karena saat itu aku memang pulang diantar pacar pertamaku, yang sekarang entah di mana. Dan Bunda sudah memberi ultamatum kalau aku tidak boleh pacaran sebelum lulus sekolah. Namun jiwa remajaku terlalu kental saat itu, hingga hal seperti pacaran pun ingin aku lakukan. Akhirnya, aku menjalani hubungan backstreet dengan kakak kelasku.

"Pak, nyalain radio boleh gak? Rasanya hening banget," cicitku.

Arkan melirikku, lalu mengangguk. Aku menyalakan radio, mencari frekuensi radio Suara Hati. Ah, kebetulan sekali radio Suara Hati sedang memutar lagunya Jason Mraz yang berjudul I Won't Give Up.

Salah satu lagu favoritku, yang biasa kuputar sambil mengerjakan tugas. Aku bersenandung pelan sambil memandang jalanan dari balik kaca mobil. Nah, kalau seperti ini tidak terlalu canggung.

"Saya pikir kamu masih ngambek karena ucapan saya soal kamu waktu dulu?"

Mau tak mau pertanyaan itu mengalihkan fokusku, hingga mengharuskan aku mengarahkan tatapan pada lawan bicara.

"Siapa yang ngambek?"

"Kamu."

Aku mengendikkan bahu.

"Malu aja, Pak. Saya kira bukan Bapak yang waktu itu ... ah, sudahlah, Pak. Udah tertangkap basah juga, lupakan. Anggap aja Bapak gak dengar apa-apa waktu itu."

"Saya sudah tahu kamu dari tiga tahun yang lalu. Tapi, cuma hari itu aja saya ngelihat kamu. Ayah kamu bilang kamu sibuk pengayaan buat ujian nasional."

Ayah... Oh God. Tak kusangka Ayah tega mengkhianatiku. Ayah jahat, lebih jahat dari Rangga yang meninggalkan Cinta begitu saja.

"Wahh, Ayah cerita apa aja tentang saya?"

"Gak banyak, karena membimbing saya lebih penting daripada menceritakan tentang kamu."

Aku nyaris berdecih, namun masih bisa kukontrol. Suka tidak suka juga dia tetap dosenku. "Aduh, Pak. Selain kejam, Bapak juga nyinyir ya. Kata Ayah, saya ini bagai mutiaranya. Jadi jangan macam-macam."

"Saya gak macam-macam kok, cuma mau satu macam."

"Apa?"

"Cuma pengin lakban mulut kamu biar diam."

"Sadis amat, Pak. Ya udah saya diam nih." Aku mengatupkan bibirku. Lalu kembali mengalihkan arah pandanganku ke jalanan yang gelap.

"Kapan-kapan saya ajak kamu ke sanggar kesenian daerah, biar kamu gak mengikuti arus musik K-pop terus."

Dosen Idola (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang