20. Mencoba Membuka Hati

255K 23K 541
                                    

Memanfaatkan waktu libur kuliah di hari minggu, Arkan menepati janjinya yang sempat aku abaikan beberapa waktu lalu. Mengajakku ke sanggar kesenian tradisional. Arkan bilang dia sering ke sanggar ini untuk belajar bermain angklung karena dia tertarik dengan alat musik tradisional yang terbuat dari bambu itu.


Aku duduk melihat Arkan memainkan angklung dengan beberapa orang di stage. Meskipun kadang-kadang Arkan masih suka tertawa karena sering salah, tetapi permainannya cukup mengesankan untuk orang yang masih dalam tahap belajar.

Permainan angklung selesai, Arkan turun dengan membawa satu buah alat musik tradisional khas Jawa Barat itu. Aku mengerutkan dahi saat Arkan menyodorkan angklung tersebut padaku.

"Mau mencoba?"

Aku menggeleng sambil meringis, "Bapak aja deh, saya malu."

"Namanya juga belajar, Za. Ngapain malu? Ini salah satu cara melestarikan budaya Indonesia yang hampir punah," jelasnya.

Aku mengangguk saja, berdiri dan mengambil angklung itu dari tangan Arkan. Arkan mengulas senyum padaku, lalu mengajakku naik ke stage di mana ada pelatih angklungnya di sana, namanya Kang Maman.

Awalnya agak susah mengikutinya. Ditambah Arkan terus saja terkekeh melihat kebingunganku. Ah menyebalkan sekali dia.

"Susah?" tanyanya terkikik.

"Banget, salah terus dari tadi. Tuh Kang Mamannya aja udah angkat tangan kayaknya," ringisku sedih.

Kang Maman menelungkupkan kedua tangannya dengan raut bersalah.

"Gak papa, masih belajar. Kalau kamu masih mau belajar, kapan-kapan kita ke sini lagi." Tidak ada nada tegas dalam suara yang biasa dikeluarkan jika sedang mengajar. Seperti biasa jika sedang di luar, nada suaranya kalem.

Aku mengangguk saja.

"Mau jalan-jalan sekitar area sanggar?" tawarnya.

"Boleh," jawabku sambil beranjak untuk mengikutinya.

Arkan memelankan langkahnya saat sadar aku tertinggal di belakang. Tidak tahu apa kalau langkah laki-laki itu lebih lebar dari wanita? Kemudian kami berjalan beriringan. Tanpa genggaman tangan, catat ya. Berkeliling di sekitar halaman sanggar yang cukup luas. Bisa disebut taman tempat bersantai.

"Gimana soal rapat kemarin?" tanyanya.

Mengangkat bahu, aku tidak begitu antusias untuk menceritakannya. Karena memang rapatnya membosankan. Hanya evaluasi kerja setiap divisi, merancang ulang program kerja untuk jangka pendek dan jangka panjang. Juga lembar pertanggungjawaban setiap kinerja divisi. Selebihannya, guyonan-guyonan klasik tersaji. Katanya untuk mencairkan suasana agar tidak terlalu tegang.

"Ya gitulah, Pak. Udah bete duluan jadi gak terlalu fokus," jawabku jujur.

"Biasakan kalau ikut organisasi itu harus semangat. Organisasi itu menjadi tolok ukur kalau nanti kamu terjun ke dunia kerja. Dengan organisasi setidaknya memberikan kamu gambaran bagaimana dunia kerja nanti. Apalagi kalau kerja di instansi, datang ke kantor gak boleh terlambat. Sedangkan kamu, masih suka terlambat kalau kuliah," kultumnya panjang lebar.

Orang lagi badmood itu hibur dong, bukan malah dikasih kultum. Tahu ah tambah bete.

"Gak usah manyun sama menggerutu dalam hati. Udah jelek nambah jelek nanti," ujarnya dengan senyum usil. Fix, aku benci senyumannya itu.

"Iya saya jelek kok, terus kenapa bapak suka sama saya? Jangan-jangan Bapak cuma mempermainkan saya?" tanyaku curiga.

Telunjuknya menyentuh dahiku, sensasi hangat terasa dalam hati. Jangan baper, Khanza. Siapa tahu dia memang hanya mempermainkanku. Tetapi, tatapan hangat itu seolah menyangkal tuduhanku. "Biasakan jangan dulu su'udzon sama orang lain, belum tentu apa yang kamu tuduhkan itu terbukti."

Dosen Idola (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang