9. Oh Ternyata!

253K 23K 2.8K
                                    

Entah apa yang membuat Fajar terlihat menarik di mataku. Setiap kali melihat manik hitam milik Fajar, membuat gelenjar aneh dalam hati. Padahal sosoknya mungkin tidak bisa kumiliki--entah hanya perasaanku saja atau apa, tapi yang jelas Fajar tidak terjangkau. Apalagi dia selalu menyanjung gebetan-gebetannya di sela kebersamaan kami.

"Abis kuliah, jalan yuk?"

"Ke mana?" tanyaku.

"Eh, nonton aja deh. Gue lagi pengin nonton drama romantis," katanya cengengesan.

Ekspresiku berubah ceria. Nonton film di tengah padatnya tugas adalah penyembuhan otak yang cukup baik. "Posesif, mau ya? Gue suka banget lihat aktingnya Adipati Dolken."

"Oke."

"Sama Wulan juga nggak?" tanyaku.

Bukan apa-apa, ini kesempatan yang bagus untuk menghabiskan waktu berdua. Siapa tahu aja Fajar memahami isi hatiku ini.

Jangan terlalu narsis dan over confident, Khanza. Nanti kalau tidak sesuai ekspektasi bisa nangis dua hari dua malam.

"Berdua aja," jawabnya lugas, membuat hatiku bersorak senang.

Satu hal yang kusukai kalau jalan dengan Fajar, dia tidak akan ragu buat traktir di saat dompetnya sudah melarat. Tanggal semakin tua padahal, tetapi sekarang aku minta dibayarin dia oke-oke aja. Ah senangnya hati ini, karena aku tidak suka cowok pelit.

"Jar, beli popcorn dulu biar gak laper."

"Oke."

Fajar membeli satu kotak popcorn ukuran besar dan dua minuman cupnya. Lalu dia berjalan ke arahku lagi, sementara aku dengan senang hati menyambut.

"Makasih A Fajar yang baik hati," cengirku lebar.

"Iya, gue mah baik hati, tidak sombong dan gak rajin menabung," sahutnya. "Yuk, masuk."

Pangeran tidak menggandeng putrinya.

Kami--aku dan Fajar, duduk di belakang. Film yang hendak kami tonton kurang dari tiga menit lagi akan dimulai dan lampu mulai dimatikan.

Aku menikmati film dengan fokus, sesuatu yang fokus itu baik tapi jangan sampai terlalu fokus. Bisa jadi apa yang disajikan dalam sebuah adegan film itu benar-benar ingin kita rasakan. Bahkan dalam mencintai juga jangan terlalu fokus, apalagi orang yang kita cintai belum memberikan sinyal bahwa dia juga sama mencintai kita.

Seperti perasaanku pada Fajar ini, kadang ada satu keinginan dalam hidupku untuk bisa merubah semua takdir Tuhan dengan caraku sendiri. Itu satu hal yang mungkin mustahil untuk dilaksanakan. Tetapi, Ayah pernah berkata--kemustahilan itu bisa dihilangkan kalau kira berusaha selagi tidak mendahului kehendak Tuhan.

"Za?"

"Khanza. Woy!"

"Eh, ayam! Lo ngagetin sumpah." Aku memakinya sambil mengurut dada. Ketahuan melamun.

Fajar meredam tawanya dengan telapak tangan. Aku mendengkus, memilih fokus kembali melihat film yang hampir setengah jalan.

"Za?"

"Apa sih?" sewotku.

"Jangan ngambek dong, gue mau ngomong sesuatu nih."

"Ya udah ngomong!"

"Ke sini dong ngadepnya, gue kayak lagi ngomong sama rambut lo."

Aku memiringkan posisi dudukku, mengikhlaskan filmnya berjalan tanpa kutonton lagi. Aku terheran, melihat raut jenaka yang biasa Fajar tampilkan berganti dengan wajah serius. Pandangan kami bertemu dengan mulut yang saling terkunci. Saling menelusuri manik satu sama lain di bawah lampu bioskop yang temaram.

Dosen Idola (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now