Prolog (1)

711 122 50
                                    


Otak cerdas Lai Guanlin masih mampu mengingat kapan pertama kali ia dan keluarga kecilnya tinggal di lingkungan ini. Sebuah lingkungan di pinggiran kota yang cukup jauh dari hiruk-pikuk pusat kota yang bisa membuahkan penat tak tertahankan.

Mereka tinggal di rumah bergaya minimalis itu sejak tigabelas tahun silam, tepatnya saat Guanlin masih balita, masih berumur empat tahun. Kala itu Guanlin bahkan belum bisa melafalkan huruf R dengan sempurna, beberapa gigi susunya juga rusak karena kegemarannya mengonsumsi permen secara berlebih. Meskipun demikian, lansia berusia sembilanpuluh tahun pun pasti bisa melihat bibit ketampanan Guanlin sejak bocah itu masih minum susu menggunakan botol susu.

Keluarga kecilnya pindah saat usia pernikahan ibunya yang kedua memasuki bulan ketujuh. Iya, pernikahan yang kedua, karena wanita yang sudah melahirkan Guanlin tujuhbelas tahun silam itu telah kehilangan suaminya sejak Guanlin berusia dua tahun. Setelah membesarkan Guanlin sebagai orang tua tunggal selama duapuluh empat bulan penuh, benang merah pengikat takdir ternyata mempersatukan dua hati secara tidak terduga. Ibu Guanlin dipersunting seorang bujang yang merupakan rekan kerja mendiang ayah Guanlin di kantornya dulu.

Awalnya sang ibu mengenalkannya sebagai Paman Jo. Orangnya baik. Usianya masih 30-an kala itu, tapi tampak sangat dewasa dan bijak. Makanya tak heran jika Guanlin langsung menurut ketika sang ibu memintanya untuk memakai kata ayah saat memanggil pria itu setelah janji suci pernikahan resmi diucapkan.

Ayah tirinya adalah sosok yang begitu baik. Guanlin bahkan lebih dekat dengan sosok itu ketimbang dengan ibu kandungnya. Beliau yang sering memandikan Guanlin ketika masih kecil, mengantarkannya ke sekolah, membelikannya mainan, bahkan mengajarinya naik sepeda. Sosok itu secara penuh mengisi kekosongan hidup Guanlin yang ditinggalkan oleh ayah kandungnya sejak kecil. Sedih memang, tapi Guanlin bahkan tak bisa mengingat sosok pria Taiwan itu dengan sempurna. Sebuah kecelakaan nahas yang merenggut nyawa sang arsitek di lokasi pembangunan gedung benar-benar menghadirkan lubang di kehidupan Guanlin kecil. Untungnya Tuhan mengirimkan malaikat lain untuk menggantikan malaikat yang Ia panggil kembali ke surga. Tuhan memang adil.

Kasih sayang ayah tirinya bahkan tidak pudar setelah hadirnya anggota keluarga baru di tengah-tengah mereka. Iya, tiga bulan setelah mereka pindah rumah, ibu Guanlin melahirkan seorang putra kecil. Wajar saja, saat mereka pindah, sang ibu sedang mengandung dan usia kandungannya sudah enam bulan.

Guanlin menyambut baik kelahiran adik beda ayahnya itu. Meskipun memiliki aliran darah yang tak sepenuhnya sama dan menyandang marga yang berbeda, tapi Guanlin tetap sayang padanya. Memanjakannya, bermain bersamanya, menggendongnya... semua itu ia lakukan selama bertahun-tahun, sampai tiba suatu hari dimana ia merasa déjà vu. Sebuah déjà vu menyakitkan dan melahirkan sebuah evolusi pada hubungan persaudaraan Guanlin dan Woochan yang dulunya harmonis.

Usianya sudah delapan tahun saat itu, sedangkan adiknya berusia empat tahun. Keluarga kecilnya sedang piknik di sebuah taman yang berada di tepi sungai bersama sebuah keluarga lain yang merupakan tetangga sebelah rumah mereka. Déjà vu itu menyergapnya saat kaki mungil adiknya tiba-tiba bergerak cepat mendekati sesosok pria imut yang sedang melahap roti isi kesukaannya dengan pipi yang menggembung. Entah mendapat gagasan dari mana, tapi adiknya tiba-tiba menyodorkan setangkai bunga liar pada si pria gembul yang mungkin sepantaran dengan Guanlin.

"Yoo Seonho, saat sudah besar nanti, menikah denganku, ya?"

Pemandangan itu tidak asing bagi Guanlin. Ia seolah sedang bercermin. Iya, empat tahun lalu ia juga melakukan hal yang sama persis pada putra tunggal keluarga Yoo yang merupakan tetangga mereka. Bedanya, saat itu Guanlin masih berstatus sebagai anak tunggal.

Ya Tuhan, Guanlin merasa ditampar dengan tangan tak kasat mata. Adiknya itu memang sangat dekat dengan Seonho, tapi tak pernah terbesit sedikitpun di benaknya tentang kemungkinan adiknya memiliki rasa pada Seonho. Jo Woochan, kenapa kau menampar kakakmu sendiri? Dan lihatlah tingkahmu, kau melakukannya seperti pria dewasa dan bahkan tanpa ragu menanggalkan embel-embel kesopanan untuk memanggil orang yang lebih tua. Terlalu banyak menonton drama picisan dengan ibumu mungkin membawa dampak negatif.

Jika kalian berpikir bahwa perasaan Guanlin dan Woochan tak lebih dari sekedar cinta monyet bocah umur empat tahun, maka kalian salah. Kenyataannya, perasaan itu masih bertahan sampai sekarang. Lai Guanlin, tujuhbelas tahun. Jo Woochan, tigabelas tahun. Dan Yoo Seonho, enambelas tahun.

Haruskah Guanlin mengalah? Atau, haruskah Guanlin menabuh genderang perang untuk menantang saudaranya sendiri?

To be continued or... end?

—Ӂ—

A/N

I'm testing the water, mencoba mencari tahu apakah ada yang berminat dengan cerita semacam ini? Sebuah cerita ringan yang mungkin penuh drama. Ini akan menjadi cerita yang sederhana kok, tidak seperti Incisor yang setiap paragrafnya bikin pusing lmao~

Saya sudah mengetik cerita ini sebanyak 10k kata, tapi itu masih belum sampai tamat. Saya ingin tahu dulu apakah ada yang menginginkan kelanjutan cerita ini? Saya akan mempublish 2 prolog, dan tolong dinilai apakah kisah ini layak tayang? Vote dan comment sebanyak-banyaknya, ya. Karena kalau hanya sedikit yang memberi feedback, saya pastikan fanfiksi ini hanya akan sampai pada prolog dan tidak berlanjut (jahat, ya? hahaha). Ok, would you mind to giving me some feedback?

The Chicks - GuanHo feat WoochanWhere stories live. Discover now