1. Mount Fuji

497 79 75
                                    


Keheningan melanda meja makan berbentuk persegi panjang pagi itu. Mungkin sesekali memang ada suara benturan antara sendok dengan piring ataupun garpu dengan piring, tapi bisa dipastikan tidak ada kesengajaan di balik timbulnya denting nyaring itu.

Sang kepala keluarga memang selalu mengajarkan kedua putranya untuk makan dengan tenang, tanpa ada ocehan di sana-sini yang bisa memberi ancaman datangnya sebuah bencana dengan nama 'tersedak'. Hey, jangan meremehkan bencana yang bersifat individual itu, rajin-rajinlah membaca koran maupun menonton televisi, dan kau akan menemukan puluhan bahkan ratusan kasus dimana orang meninggal karena tersedak. Jadi, jangan disepelekan.

Si bungsu Jo Woochan adalah orang pertama yang meletakkan sendok serta garpu dengan posisi terbalik di atas piring yang telah kosong. Anak itu rupanya sudah selesai melahap nasi serta lauk yang tadi disiapkan oleh sang ibu. Jangan heran ketika melihat pemandangan alat makan yang sifatnya modern itu, karena keluarga Jo memang keluarga multikultural. Mereka bahkan lebih sering menggunakan sendok dan garpu dibandingkan sumpit. Tersangkanya adalah si sulung Lai Guanlin, remaja keturunan Taiwan yang sejak kecil lebih mengenal sendok dibandingkan sumpit. Born with plastic spoon in his mouth, they said. Kenapa plastik? Karena perak terlalu mahal. Mereka bukanlah keluarga yang sangat amat kaya dengan harta berlimpah. Sedang-sedang saja, karena yang berlebihan kadang tidaklah baik.

"Aku sudah selesai," si bungsu berujar sembari memamerkan senyuman manis kepada dua orang tuanya. Sebuah senyuman yang sengaja tidak ia bagi kepada kakaknya. Alasannya? Akan terungkap seiring berjalannya waktu.

Sang kakak tak mau kalah. Cepat-cepat ia melahap potongan daging sapi yang sengaja ia sisihkan sebagai hidangan penutup. Sial, padahal ia ingin menikmati daging mahal itu dengan pelan, meresapi bumbu yang secara sempurna merasuk dalam gumpal coklat itu, tapi apa mau dikata jika gengsinya terlalu besar? Ia tak mau kalah dari adiknya, bahkan untuk urusan lomba balap makan yang tidak secara resmi diadakan itu. Setidakpenting itulah persaingan tidak sehat antara kakak dan adiknya.

"Aku juga sudah selesai." Senyum simpul menyertai setelah Guanlin dengan elegan meletakkan peralatan makannya dan menatap ayah dan ibunya. Seolah sengaja membalas perbuatan adiknya tadi, senyum tulusnya juga enggan ia bagi kepada yang bersangkutan.

"Kakak kalah satu menit lebih tigapuluh enam detik."

Perkataan Woochan yang terdengar seperti sebuah provokasi membuat Guanlin melenyapkan senyumnya dan mendelik menatap adiknya.

"Itu karena aku mengunyah daging sapi sebanyak tigapuluh dua kunyahan demi menjaga kesehatan alat pencernaanku. Kau sih mana mungkin tahu yang begituan."

Sepasang bola mata Woochan terputar secara otomatis mendengar alasan yang dikemukakan oleh kakaknya. Tidak masuk akal, pikirnya.

Tapi bocah ingusan itu memilih untuk abai dan beralih menatap ayah dan ibunya lagi. "Ibu, Ayah, nanti sore aku ingin belajar di rumah Kak Seonho. Boleh, ya?"

Sang ibu sudah hampir membuka mulut untuk menjawab pertanyaan putra bungsunya, tapi Guanlin menyalipnya. "Belajar apanya? Paling kau hanya akan mengganggu Seonho, 'kan?" Ejeknya. Ia lalu beralih menatap ibunya. "Jangan diizinkan, Bu. Anak itu hanya akan merepotkan Seonho."

"Maksud Kakak apa, sih? Aku benar-benar ingin belajar kok. Lagipula Kak Seonho sudah berjanji untuk mengajariku Bahasa Inggris. Kak Seonho 'kan baik! Tidak seperti Kakak yang pelit ilmu!"

"Pelit ilmu, katamu? Aku hanya malas mengajari otak udang sepertimu. Otakmu lamban sekali. Sampai mulutku berbusa pun kau tetap tidak mengerti materi yang kujelaskan."

"Kakak!"

Sepasang kakak-beradik berwajah mirip itu saling melempar tatapan membunuh. Jika bisa divisualisasikan, maka saat ini pasti ada aliran listrik yang keluar dari kepala mereka berdua dan berusaha saling menyengat satu sama lain.

The Chicks - GuanHo feat WoochanWhere stories live. Discover now