3. Berlin Wall

268 49 34
                                    

Kembali sang mentari bertahta usai rembulan menjalankan tugasnya dengan baik tadi malam. Meskipun sinarnya tidaklah terik mengingat ini adalah Musim Dingin, tapi kehadiran matahari cukup untuk menjadi bukti bahwa hari telah berganti.

Pagi ini, secara tidak biasa Guanlin dan Woochan tidak terlibat pertengkaran usai piring mereka yang berada di atas meja makan sama-sama kosong. Hal itu membuat ayah dan ibu mereka saling tatap, kemudian secara bergantian menatap putra sulung dan putra bungsu mereka.

"Tidak biasanya kalian sangat hening. Ada apa, hm?" Sang kepala keluarga bertanya.

Tatapan tajam saling dilemparkan oleh si sulung dan si bungsu. Agaknya kesalahpahaman yang kemarin masih menyisakan rasa kesal di hati keduanya.

"Kalian kenapa? Ada masalah?" Kali ini sang ibu yang bertanya karena pertanyaan suaminya diabaikan oleh dua putranya yang masih asyik saling tatap itu.

"Tidak ada apa-apa, Ibu, Ayah," Woochan yang menjawab. "Tidak ada masalah di antara kami. Hanya saja, Kak Guanlin kemarin sudah menuduhku yang tidak-tidak."

Sontak Guanlin melotot ke arah adiknya. Begitu saja mengadu, cibirnya dalam hati.

"Hanya salah paham saja 'kan berarti? Lebih baik kalian berbaikan," Sang ayah merespon. Lelaki paruh baya itu menatap si sulung. "Guanlin, masih ingat pesan Ayah, 'kan? Kalau kita melakukan kesalahan, jangan ragu untuk meminta maaf. Kalau kemarin Guanlin memang menuduhkan hal yang salah pada Woochan, berarti harus meminta maaf, 'kan?"

Guanlin menatap ayahnya dengan sendu. Ia jadi malu pada ayah dan ibunya karena ulah Woochan. Harusnya 'kan dilupakan saja peristiwa memalukan yang terjadi kemarin.

Ah, tapi ia tak punya pilihan lain. Daripada ia dicap sebagai anak yang buruk oleh kedua orang tuanya, lebih baik ia mengalah. Lelaki berperawakan jangkung itu lalu beralih menatap adiknya. "Maaf," ucapnya lirih dan singkat.

Sebelah alis sang adik terangkat, diikuti dengan sudut bibir sebelah kanannya yang juga terangkat. "Apa, Kak? Aku tidak dengar," ujarnya.

Sialan, Woochan memang sengaja mengerjainya hari ini. Dengan geram, Guanlin mengulangi ucapannya. "Maaf. Maaf karena kemarin aku menuduhmu yang tidak-tidak. Sudah puas?"

Kali ini raut puas tercetak di wajah bocah Jo. Senyum lebar itu akhirnya terkembang, seiring dengan kepalanya yang bergerak ke atas dan ke bawah; mengangguk.

"Nah, kalau berbaikan seperti itu 'kan enak dilihatnya," Sang ibu berujar sembari tersenyum. "Sekarang sebaiknya kalian lekas berangkat. Seonho pasti sudah menunggu di depan."

Mendengar nama 'Seonho', sepasang saudara beda marga itu lalu berdiri secara serempak. Mereka secara bergantian mencium pipi ayah dan ibu sebagai tanda pamit, lalu bergegas keluar rumah untuk menemui Seonho.

Begitu pintu utama rumah dibuka, mereka mendapati sosok Seonho yang sedang berjongkok untuk memberi makan seekor kucing liar yang entah datang dari mana.

Pemandangan manis itu membuat dua saudara tersenyum. Mereka bahkan menahan tawa saat melihat Seonho yang sesekali mengajak hewan lucu itu berbincang.

Beberapa menit berlalu sampai akhirnya Seonho sadar bahwa dirinya sedang diperhatikan. Ia menoleh, kemudian matanya membulat. "Eh? Sejak kapan kalian di situ?" Lelaki itu berdiri, menepuk celana bagian depan untuk sedikit menghilangkan kusut yang tercipta karena posisi jongkoknya tadi.

"Sejak tadi, Kak. Kak Seonho terlalu sibuk dengan kucing itu sih sampai-sampai tidak sadar."

Seonho hanya bisa tersenyum malu mendengar perkataan Woochan.

"Kau memberikan roti coklatmu untuk kucing itu?"

Kali ini Seonho beralih menatap Guanlin yang berdiri di samping Woochan. "Iya, Kak. Aku tahu coklat tidak baik untuk kucing, tapi aku hanya punya itu." Kepala lelaki muda itu lalu tertunduk, menyesal karena telah memberi kucing liar itu makanan yang tidak sesuai.

The Chicks - GuanHo feat WoochanWhere stories live. Discover now