Perangkap

2.7K 335 8
                                    


Polsek Jatinangor, Selasa 15.43

Setelah diskusinya dengan Alfa dan Dika di warteg membuahkan hasil, Yusuf kembali ke markas dan kini tengah terduduk di ruang kerjanya. Yusuf membuka notebook kecilnya, mencari sebuah nomor telepon yang ia catat dua hari yang lalu. Setelah menemukan catatannya yang berada tepat di tengah-tengah halaman notebook ia memanggilnya via telepon kantor. Tak sampai satu menit, panggilannya terjawab.

"Assalamualaikum. Pak Syarif. Maaf mengganggu, anda tidak sedang sibuk?"

"..."

"Oh, Syukurlah kalau begitu. Begini, Pak Syarif, apa Bapak tidak keberatan membawa Hendrik dan Tanto ke kantor polisi."

"...?!"

"Bukan seperti itu. Kami perlu mencatat keterangan anda semua secara tertulis. Sekalian diketik begitu." Jelas Yusuf,

"...?"

"Kalau bisa sore ini, Pak. Sekitar jam empatan."

"..."

"Baiklah, saya tunggu pak. Terima kasih. Wassalam."

"..."

Trek.

Tepat pada pukul setengah lima sore lebih sedikit, Yusuf bertemu dengan Pak Syarif, Hendrik dan Tanto di lorong depan ruang kerjanya.

"Sore, pak polisi." Sapa Hendrik.

"Mas Hendrik, Pak Syarif, Mas Tanto."

Pak Syarif menjawab dengan anggukan lemah, Tanto dengan gerakan yang setengah-setengah.

"Mari ikuti saya." Isyarat Yusuf.

Pak Syarif dan Hendrik berjalan mengikuti Yusuf. Namun Tanto tidak bergerak satu langkah pun dari tempatnya berdiri. Ia berdiri mematung di belakang, dengan mimik wajah seperti kucing yang mencium bau amis ikan. "Tunggu sebentar, Pak Yusuf. Kami dipanggil hanya untuk pengambilan keterangan saja bukan? Tidak ada agenda lain?"

Yusuf tersenyum. Senyuman yang lemah namun meyakinkan, "Tentu saja tidak. Mas tak perlu khawatir, ini hanya pengambilan keterangan biasa saja."

Tanto memicingkan mata selama beberapa saat. "Baiklah kalau begitu." Ucapnya sambil melangkahkan kaki dengan hati-hati.

Yusuf mengantar ketiga saksinya ke depan ruangan Briptu Ujang. Yang bersangkutan kebetulan sudah siap siaga menunggu di ambang pintu. Yusuf berhenti dan berbalik menghadap Pak Syarif, Hendrik dan Tanto.

"Untuk pengambilan keterangan kali ini akan ditangani oleh Briptu Ujang." Yusuf berkata pada ketiga saksi. "Anda akan dipanggil satu persatu oleh Briptu Ujang ke dalam ruangan untuk dimintai keterangan, sementara yang lainnya dipersilakan menunggu di bangku ini." Yusuf menunjuk bangku panjang yang menempel di dinding sebelah luar ruangan.

"Itu saja. Terima kasih atas kerja sama anda sekalian." Yusuf menoleh pada Ujang. "Selanjutnya ada di tangan anda Brigadir." Yusuf pun beranjak.

Di belakang, Ujang mulai melaksanakan tugasnya dengan mengisyaratkan salah seorang saksi untuk masuk. Sesaat sebelum saksi yang ditunjuk beranjak mengikuti Ujang, Yusuf sudah menghentikan langkahnya dan berbalik kanan.

"Pak, Syarif. Satu hal lagi. Maaf sebelumnya saya lupa. Selagi bapak dan dua anak kos bapak diambil keterangannya, saya minta izin agar anak buah saya bisa memeriksa properti bapak."

Pak Syarif menjawab dengan pandangan yang bertanya-tanya. Mimik yang sama ditunjukkan oleh kedua penyewa kamarnya. "Untuk apa Pak Yusuf?"

Yusuf langsung menjelaskan. "Hanya perihal kecil saja, pak. Usaha kami mencari bukti yang menunjukkan motif peristiwa yang menimpa Aldi kemarin tidak membuahkan hasil. Kami hanya ingin mencoba untuk mencari buktinya sekali lagi. Kali ini dengan harapan yang lebih besar."

"O-oh. Ya. Kalau begitu silakan, Pak Yusuf. Semoga berhasil."

Yusuf menampilkan senyum yang membuat kedua matanya menyipit. "Terima kasih sekali lagi pak, atas kerja samanya. Juga untuk anda berdua, terima kasih." Yusuf menoleh pada Hendrik dan Tanto.

Tatapan Yusuf berpindah, kali ini pada Ujang. "Lanjutkan." Perintahnya singkat.

***

Di suatu tempat, Selasa pukul 22.14

Malam baru berlalu selama beberapa jam, namun sang bulan sudah kembali bersembunyi di cakrawala. Di pusat kota mungkin masih ada cahaya dari berbagai lampu gedung, lampu lalu lintas dan papan reklame yang memancarkan sinar beraneka warna. Namun di daerah pinggiran, hanya gelap dan kelamlah yang mewarnai sisa waktu malam. Di gang yang sering dilalui warga pun yang ada hanya penerangan minim dari lampu bohlam lima watt murahan. Kondisi yang sangat berbeda jauh bila dibandingkan dengan kawasan elit kaum urban.

Dingin malam kian malam kian meresap. Hal inilah yang terus dirasakan oleh Yusuf selama beberapa jam berdiri siaga di sebuah sudut yang gelap. Dulu Yusuf takut akan kegelapan. Namun fobia itu terobati berkat pembimbingnya di akademi kepolisian. Kegelapan adalah teman baik bagi polisi (bagi pengintai khususnya). Yusuf menyeringai. Tentu saja moto ini tidak berlaku jika diartikan secara figuratif, pikirnya.

Dari tempatnya berdiri, Yusuf bisa mendengar tarikan nafas seseorang yang tak begitu jauh darinya. Orang tersebut adalah Dika, seorang Polwan cakap (juga cakep) yang prestasinya kian hari kian bertambah.

Telinga Yusuf menangkap sesuatu.

Krak. Blug

Itu tandanya. Yusuf semakin waspada. Otot-otot di tubuhnya menegang. Semburan adrenalin mulai dirasakan olehnya. Yang ditunggunya sejak tadi, akhirnya datang. Perhitungannya memang tak pernah salah.

Srak. Srak.

Bunyi langkah kaki yang diseret, terdengar dari jauh. Yusuf mengisyaratkan Dika untuk waspada. Isyarat Yusuf, walaupun hanya menggema di benaknya sendiri, memberikan efek telepatis pada Dika yang secara bersamaan meningkatkan kewaspadaannya.

Srik. Srik.

Langkah kaki semakin mendekat. Sejenak Yusuf menyangka yang didengarnya bukanlah langkah kaki. Telinga Yusuf menangkap sebuah rintihan pelan, namun divisi rasional dari otaknya mengesampingkan hal ini.

Srik. Srak. Bleg. Sunyi.

Ini dia. Yusuf berancang-ancang untuk melompat pada sosok yang baru muncul itu. Sepersekian detik kemudian Yusuf mengurungkan niatannya untuk melompat. Sosok baru yang berada di antara Yusuf dan Dika tiba-tiba meloncat ke depan. Mata Yusuf yang sudah terbiasa dengan kegelapan, menangkap loncatan kilat yang nampak aneh itu.

Kaki dari sosok misterius itu terangkat ke atas, diawali dari tumit ke ujung jari kaki. Dan dengan bagian badan sebagai porosnya, sosok itu berputar ke depan layaknya orang yang melakukan salto.

Penjelasan logis dari yang disaksikan Yusuf ini adalah sebagai berikut :
Dika telah mendahului Yusuf ke sisi sang sosok misterius, dan membantingnya ke depan dengan salah satu jurus Judo yang ia pelajari (dalam hatinya Yusuf merasa bantingan Dika sama sekali tidak perlu).

Detik berikutnya Yusuf mendengar tarikan nafas Dika yang terdengar berat. Di antara tarikan nafasnya Dika berkata. "Kau telat, Sup. Aku yang dapat si pelaku." Senyum puas Dika tersamarkan oleh kegelapan di sekelilingnya.

Suicide? [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang