Tertangkapnya sang Pelaku

2.7K 342 8
                                    


Ruang bawah tanah (Bunker) Pondok Netherland, Selasa pukul 22.20

Yusuf menyalakan lampu di dalam ruangan pengap bawah tanah yang dijadikan markas produksi narkoba oleh Pak Syarif. Dika, berdiri di depan lorong yang menghubungkan bunker dengan bangunan tempat Pak Syarif tinggal, tengah membantu yang terakhir untuk berdiri. Borgol sudah terpasang kokoh di pergelangan tangannya (namun tidak diposisikan di belakang punggung untuk mempermudah saat menaiki tangga jalan keluar bunker).

Saat keduanya berdiri tegap, Yusuf baru bisa melihat jelas wajah dari Pak Syarif. Lampu yang baru saja ia nyalakan berada tergantung di tengah satu, dan beberapa ditempel di sisi-sisi dinding. Cahaya lampu tengah tidak terlalu terang, namun tidak terlalu redup. Efek yang ditinggalkannya pada wajah Pak Syarif membuat wajahnya terlihat keras dan dipenuhi lekukan.

Yang menjadi perhatian Yusuf adalah pantulan cahaya di kedua pipi Pak Syarif yang memberikan kontras pada wajah kerasnya. Tak perlu berpikir dua kali, dengan segera Yusuf tahu bahwa pantulan itu berasal dari uraian air mata. Yusuf pun tahu bahwa air mata itu bukanlah air mata yang menahan sakit fisik dari bantingan yang diberikan oleh Dika.

Air mata itu berasal dari rasa sakit yang diderita oleh batin. Sakit yang berasal dari luka yang lebih perih ketimbang luka borok yang disiram cairan asam. Sakit yang berasal dari penyesalan, rasa bersalah, dan duka yang mengendap di dalam sesuatu yang disebut hati nurani.

Seharusnya Yusuf menyadari hal tersebut. Mulut mungkin berkata lain, tapi sikap dan bahasa tubuh selalu mengatakan kebenaran. Ya, pada waktu pengambilan keterangan, Pak Syarif memang terlihat sangat terpukul, kehilangan, dan penuh penyesalan.

Awalnya ia menyangka sikap itu timbul dari penyesalan karena tidak meluangkan waktu bagi Aldi yang putus asa. Tapi itu berdasarkan teori bunuh diri Dika.

Kemudian, berdasarkan teori pembunuhan Alfa, ia menyangka bahwa sikap itu hanyalah akting dari seorang pembunuh berdarah dingin. Tapi seharusnya ia tahu bahwa itu bukanlah akting. Bukan, jika apa yang dikatakan orang terhadap hubungan keduanya (Aldi dan Pak Syarif) benar. Dan memang itulah kebenaranya. Sikap Pak Syarif memang penuh penyesalan, penuh rasa bersalah, karena ia lah yang bertanggung jawab atas kematian Aldi.

Rasa bersalah itu terus menghantuinya. Terus bertumpuk dari hari ke hari, layaknya balon yang terus menerus ditiup. Dan layaknya udara, rasa bersalah itu dijaga oleh elastisitas karet balon bernama ego, yang menjaga rahasia penyesalan itu erat-erat.

Namun setebal apapun kulit balon, akan tiba saatnya ketika elastisitas karet tidak sanggup menahan besarnya tekanan udara, atau dalam kasus pak Syarif, tekanan emosi dalam dada.

Tubuh Pak Syarif gemetar, menggigil. Rintihannya berubah menjadi tangisan yang meraung-raung, memanggil nama Aldi yang telah berpindah ke alam baka. Dika melepaskan pegangannya, membiarkan Pak Syarif meraung sejadi-jadinya hingga ia tersujud ke lantai.

Balon telah meletus.

Setelah drama penangkapan berakhir, Yusuf menghisap sebatang rokok di depan gerbang kos-kosan. Dika dan Pak Syarif kini tengah dalam perjalanan ke kantor polisi untuk proses penahanan. Satu tiupan besar asap rokok Yusuf hembuskan dengan lega. Ya, lega. Dan entah mengapa hati Yusuf merasa lega. Yusuf pun bertanya-tanya.

Apakah itu karena ia menemukan ikatan batin yang kuat antara Aldi dan Pak Syarif menentramkan bagi hatinya (meskipun ikatan ini sempat ternodai oleh pembunuhan terhadap Aldi). Atau karena sesaat sebelum meninggalkan bunker, Yusuf sempat melihat satu jerigen berisi minyak tanah di samping dinding lorong sempit bunker belanda.

Tapi bukan itu yang menarik perhatian Yusuf. Tak jauh dari jerigen itu, di atas lantai batu yang lembab, tergeletak seikat tali tua dengan simpul yang dikenali Yusuf beberapa hari sebelumnya.

Yusuf tersenyum. Yah, ternyata rencana yang ia susun tidak begitu sia-sia.    

Suicide? [Completed]Where stories live. Discover now