Prolog

2.1K 278 21
                                    

Gadis tersebut melangkah dengan perlahan dan sempoyongan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Gadis tersebut melangkah dengan perlahan dan sempoyongan. Matanya sayu, nyaris tidak menunjukkan adanya tanda kehidupan. Wajahnya pucat pasi. Rambutnya pendek, terpotong dengan berantakan. Tubuhnya kotor oleh sisa telur dan tomat busuk yang tadinya dilemparkan menujunya. Pakaian yang ia gunakan juga hanyalah sebuah kain lusuh penuh robekan dan tanah.

'Tidak adil. Ini tidak adil,' batin gadis itu sembari membiarkan batu terlempar menuju kepalanya—sekarang dia sudah tidak peduli lagi dengan semua yang dilakukan orang-orang di sekitarnya. 'Aku tidak berdosa. Aku tidak melakukan apapun.'

Langkah kakinya lemah, hingga para penjaga yang mengintarinya harus menarik rantai yang menahan kedua tangannya. Tubuhnya nyaris jatuh menghantam tanah karena tarikan paksa tersebut—tarikan dari rantai di lehernya dari belakanglah yang menahannya. Dia tersedak air liurnya sendiri, sebelum berhenti melangkah dan membungkukkan tubuhnya dengan lemah.

"Majulah!" bentak penjaga di belakangnya sembari mendorong tubuh kecil gadis itu. "Waktu kita tidak sedikit! Langsung jalan!" perintahnya.

Gadis itu mendesis, namun ia menurut. Kepalanya tertunduk selama ia berjalan, terkadang ada lagi yang mulai melemparinya lagi dengan telur dan tomat. 'Buang-buang saja. Kalian, manusia, seharusnya bersyukur bisa mendapatkan itu,' geram gadis itu sembari mengikuti penjaga di sekitarnya.

Mereka berhenti di tengah alun-alun kerajaan. Jeritan dan kutukan terdengar dari kerumunan yang mengitari mereka—bukan berarti gadis itu akan kena kutukan mereka, kata-kata mereka hanyalah omong kosong bagi gadis itu. Kerumunan itu mengutarakan berbagai hal, umpatan pun juga ada.

Ketika rantai-rantai yang mengikat tangan, kaki, dan lehernya terlepas, para penjaga langsung mendorong gadis itu menuju tiang salib di sebelahnya. Mereka mengikat gadis itu dengan cepat dan erat. Tidak ada waktu bagi gadis itu untuk melepas dirinya dan kabur. Dan juga dia tidak tertarik untuk kabur. Ke mana dia akan pergi? Rumah saja sudah tidak ada.

Jerami-jerami kering dikumpulkan di sekitar gadis itu, jeritan para penonton semakin liar. Dari seberang alun-alun, gadis itu melihat sebuah panggung. Sang raja duduk di sana dengan gagahnya, menatapi sinis gadis itu—tetapi gadis itu membalasnya dengan senyuman ramah. Tidak ada permaisuri di sebelahnya, melainkan putra bungsunya bersama dengan tunangannya. Gadis itu hanya diam menatapi sepasang mata cokelat tua milik sang pangeran, sebelum ia mengalihkan pandangannya menuju langit.

'Padahal hari ini cerah,' pikirnya. 'Padahal ini adalah hari yang indah untuk meminum teh. Sepertinya takdir sedang jahil, ya?' ia tertawa pelan. 'Menyedihkan.'

Sementara perhatian gadis itu masih terfokus pada langit, sang raja telah memulai pidatonya. Beliau berseru mengenai kutukan, sihir, dan hukuman yang pantas. Umpatan dan kata-kata sejenisnya juga keluar dari pria paruh baya itu. Merasa sudah cukup mengingat langit untuk terakhir kalinya, gadis itu mengalihkan perhatiannya menuju panggung lagi.

Matanya segera bertemu dengan sepasang mata cokelat tua, lagi. Keduanya hanya bertatap-tatapan untuk beberapa saat, sebelum ia menyunggingkan sebuah senyuman ramah, seakan-akan dia tidak sedang diikat. Menarik nafas dalam-dalam, ia mulai membisikkan kata-kata yang hanya bisa didengar olehnya—namun ia tahu pangeran itu bisa membaca gerakan bibirnya. Senyumannya mengembang, sebelum pandangannya mulai memburam.

"Sungguh, senang berkenalan denganmu, Oikawa Tooru."

Tale: The Prince and The Witch | Oikawa TooruWhere stories live. Discover now