1. Dysfunctional

2.5K 161 37
                                    

/dysfunctional/

tidak berfungsi secara normal, dalam konteks keluarga disfungsional (dysfunctional family) berarti keluarga di mana para anggotanya tidak berinteraksi dengan baik

.

.

.

New York, 1995

"Nel, sudah tidur?"

Suamiku masuk ke dalam kamar tidur kami, menyalakan lampu kecil di dekat pintu. Sinar kekuningan menampilkan siluet tubuhnya yang dibalut kemeja lengan panjang dan dasi. Bayangan dirinya terpampang di dinding -- aku dapat melihat tangannya berkutat melonggarkan dasi yang membelit lehernya sejak, entah, pukul delapan pagi ini?

Aku masih duduk termenung di ambang jendela. Mataku yang sempat berkelana ke arah pintu kembali mengamati jajaran gedung tinggi berhias lampu dan lalu lalang kendaraan di jalan utama New York -- kota yang tak pernah tidur meskipun telah larut malam.

"Oh, di situ rupanya. Aku terpaksa pulang malam lagi, negosiasi dengan pihak Thompson belum lancar. Aku sudah makan malam, kamu nggak menyiapkan makanan untukku, kan?"

Chef kami telah menghidangkan mie goreng ala Indonesia seperti yang kami sukai di tahun-tahun awal pernikahan kami, namun sudah kusingkirkan setelah dua jam ia tidak pulang.

Aku menggeleng.

"Ya sudah, aku mau mandi. Tiara nggak merepotkan kamu, kan, Nel?" tanyanya sekali lagi sambil mengeluarkan celana pendek dan kimono sutra yang selalu dikenakannya untuk tidur.

"Nggak, kok, dia pintar sekali," sahutku.

"Baguslah," ujar suamiku. Dalam perjalanannya ke kamar mandi pribadi kami, ia melalui tempat tidur Tiara yang berjarak tiga meter dari tempat tidur kami, mengusap rambutnya, lalu melanjutkan urusannya.

Aku menghela napas. Kehidupan seperti ini yang kujalani setiap hari. Sepi dan membosankan. Benar, aku memiliki kekayaan berlimpah sehingga aku dapat membeli apa saja yang kuinginkan. Suamiku tidak pelit -- ia memberikan kartu kredit tanpa batas dan tidak pernah bertanya jika aku berbelanja. Tak kupungkir, berbelanja memang menyenangkan. Namun lama-lama aku bosan juga. Apa artinya harta kekayaan jika kamu tidak dapat menghabiskan waktu dengan orang-orang yang kamu cintai?

Bahkan, aku tidak tahu apakah aku masih mencintai suamiku.

***

Kaum pebisnis di Indonesia pasti mengenal nama Grup Jati, perusahaan milik keluarga konglomerat yang dipimpin oleh Indra Jati, ayah mertuaku. Hanya saja, mengingat usia Papa yang tak lagi muda, hampir semua operasional perusahaan telah dialihkan ke tangan suamiku secara perlahan. Grup Jati menguasai berbagai sektor, terutama properti, perminyakan, pertambangan, dan perkebunan kelapa sawit. Selain di Indonesia, Grup Jati bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat, Perancis, dan Hong Kong.

Itulah mengapa kami pindah ke New York di tahun ketiga pernikahan kami. Surya tak peduli aku sedang hamil muda setelah beberapa kali keguguran saat usia kandunganku masih dalam hitungan mingguan. Padahal aku lebih senang menghabiskan waktuku di Manado bersama keluargaku, atau setidaknya di Jakarta di mana saudara-saudaraku mudah mengunjungiku. Surya memang menyediakan dokter dan perawat terbaik untuk memastikan kondisiku baik -- namun aku kesepian.

Harapanku, setelah Tiara lahir pada bulan Juni 1991, suamiku akan mengurangi jam kerjanya yang tak manusiawi dan lebih memerhatikan keluarganya. Namun aku salah. Tiga kali Tiara berulangtahun, dua kali ia melewatkan acara ulangtahunnya. Ketika aku mengingatkannya, ia hanya berkata, "Untuk apa? Aku sendiri sebenarnya tidak mau merayakan ulangtahunku kalau bukan untuk image bisnis."

Lagi-lagi, aku hanya dapat menghembuskan napas. Sepertinya suamiku memang bukan manusia, melainkan mesin.

***

Surya keluar dari kamar mandi dan menemukanku duduk di tepi kasur Tiara, membelai pipinya. Aku mengenakan lingerie kesukaannya: babydoll hitam berenda yang menonjolkan lekuk tubuhku yang masih memesona, dan mengurai rambut panjangku yang bergelombang. Entah apakah ini akan berhasil, namun aku hanya ingin dia memerhatikanku. Kali ini siasatku berhasil, dalam arti ia menatapku -- benar-benar memandangku heran -- namun aku tak yakin aku berhasil mengubah pikirannya.

"Kamu mau apa, istriku?" tanyanya.

Aku bangkit dan mengalungkan lenganku ke lehernya. Aroma sabun maskulin semerbak di hidungku. Jariku menelusuri rahang tegasnya yang dibayangi nuansa kelabu bakal jenggot yang akan tumbuh, meskipun ia mencukurnya bersih-bersih. Sebenarnya suamiku ini tampan -- hanya saja ia begitu dingin.

"I want some quality time from you, Husband," aku berbisik di telinganya.

"Aku sedikit lelah, tapi baiklah, kalau itu yang kamu inginkan," sahut Surya, mengikutiku ke atas tempat tidur.

Kami berbaring bersebelahan. Surya membiarkan kepalaku bersandar di lengannya, sementara tangan kananku beristirahat di atas dadanya. Ia mengusap rambutku secara metodis, namun aku tahu pikirannya masih tak tertuju padaku karena ia hanya menjawab singkat ketika aku mengajaknya bicara.

"Surya --" ucapku putus asa, "aku mau memberikan adik untuk Tiara."

Sepertinya itu berhasil menarik perhatiannya. Ia menghentikan belaiannya dan menolehkan kepalanya ke arahku. "Nella, are you pregnant?"

"Enggak -- tapi aku mau --"

Aku dapat mendengar hembusan napasnya. "Nel, aku bukannya nggak mau memenuhi keinginanmu, tapi kamu harus memikirkan kesehatanmu. Dokter bilang rahimmu lemah. Lihat, kamu harus bed rest dua bulan selama mengandung Tiara. Aku nggak mau kamu menderita lagi, istriku."

Omong kosong. Dia pernah bilang tak mau punya anak, lalu melonggarkan ucapannya karena ia butuh pewaris.

"I'm fine, Surya. I can handle one more child."

"Bisakah kita bicarakan lain kali saja? Aku sudah ngantuk, mau tidur. Kamu juga tidurlah, jangan terlalu banyak pikiran."

'Lain kali' menurut Surya berarti tidak akan dibicarakan lagi.

Ketika ia sudah mendengkur perlahan, aku beranjak dari tempat tidur dan mengunci diriku di kamar mandi. Aku mengisi bak mandi hingga penuh dan menyiapkan segelas wine di tepi bak mandi. Sambil berendam dan menyesap wine perlahan, aku mengubur dalam-dalam keinginanku untuk menangis. Memangnya, apa yang harus ditangisi? Semua orang pasti akan menganggapku bodoh. Di saat perempuan lain menginginkan kehidupan yang kujalani -- aku malah mengutukinya.

Aku bertekad kuat, kebahagiaanku tidak boleh tergantung pada orang lain. Biar saja suamiku bersikap seperti itu. Aku harus mencari kebahagiaanku sendiri. Setidaknya masih ada Tiara. Ya, putriku membutuhkanku. Aku harus hidup bahagia demi dia. 

.

.

.

Bersambung.

12 Mei 2018

800++ kata

Disillusioned ◇Where stories live. Discover now