4. Expectations

1.6K 122 52
                                    

/expectation/

ekspektasi; harapan atau kepercayaan bahwa suatu peristiwa akan terjadi di masa depan

.

.

.

Bagiku, bersikap dingin merupakan salah satu upayaku untuk "menghukum" suamiku. Juga merupakan pertahanan diri untuk mengatasi rasa sakit di hatiku ketika Surya gagal memenuhi ekspektasiku. Aku tidak bersikap pasif-agresif -- aku tahu itu sikap buruk yang tidak boleh dipraktikkan dalam pernikahan -- namun aku mengingatkan diriku untuk tidak mengharapkan apapun.

Tidak berharap ia pulang lebih cepat karena negosiasi proyeknya sudah selesai.

Tidak berharap ia memerhatikan Tiara walaupun gadis kecil malang itu berusaha untuk menarik perhatian ayahnya.

Bahkan tidak berharap ia mengingat ulang tahun pernikahan kami yang ketujuh, tanggal delapan bulan delapan nanti. (Kami menikah tanggal 8 Agustus 1988, tanggal yang sangat cantik, bukan?)

Namun dalam lubuk hati terdalamku, aku tahu aku membohongi diriku sendiri.

Dan yang lebih menyakitkan, Surya tidak keberatan aku bersikap dingin. Malahan, ia memujiku karena menjadi lebih tangguh.

"Sepertinya kamu sudah mendengarkan nasihatku untuk nggak terlalu menggunakan emosi ke mana-mana, Nella," ujarnya. "Aku suka itu."

Sialan.

Jika aku menyangka suamiku akan lebih senggang setelah ia mendapatkan proyeknya -- kerja sama dengan perusahaan konsultan finansial untuk membuka cabang resmi di Jakarta -- maka aku salah besar. Walaupun Surya tak lagi pulang larut malam dan menyempatkan makan malam denganku setiap hari, ia tetap tidak menghabiskan waktunya bersamaku, lebih memilih untuk membaca buku di ruang bacanya, atau bermain golf dengan rekan-rekannya pada hari Sabtu. Alasannya, ia perlu menjaga hubungan baik dengan koleganya agar memperoleh kemudahan dalam bernegosiasi.

Dalam sebulan terakhir ini, ia baru sekali mengajakku dan Tiara berjalan-jalan sekeluarga di akhir pekan. Lainnya, ia memintaku mendampinginya sebagai istri idaman yang dapat ia banggakan di acara bisnis kelas atas di New York. Cantik, pendiam, dan berkelas. Rekan-rekannya memuji kami sebagai pasangan sempurna. Berparas rupawan, memiliki hubungan yang harmonis, serta dikaruniai anak yang cantik dan cerdas.

Omong kosong.

Jujur saja, aku diam karena aku tak tertarik pada bahan pembicaraan mereka. Aku memang sudah hampir tujuh tahun menjadi istri direktur Grup Jati, namun aku tak pernah ingin memahami dunianya. Sebagai lulusan Sastra Inggris, aku lebih suka membaca novel dan mendiskusikan isinya. Aku bahkan tak yakin Surya pernah membaca karya fiksi. Koleksinya di ruang baca hanyalah buku-buku strategi, ilmu bisnis, dan pengalaman hidup manusia.

Yah, aku masih suka membaca pengalaman hidup manusia. Tapi kehidupan manusia yang dipelajari oleh Surya adalah model Jack Welch atau Warren Buffett. Sedangkan aku lebih senang membedah kehidupan Charlotte Bronte atau Virginia Woolf.

Sudahlah. Aku bilang aku tidak mau memusingkan diriku dengan perbedaan selera dan prioritas hidup kami. Setidaknya kami masih dapat berfungsi sebagai suami-istri dan sebagai orangtua bagi Tiara.

Sekarang aku harus mulai memikirkan benda-benda apa saja yang harus kubawa pulang dari New York saat kami kembali ke Jakarta nanti.

***

Membujuk Tiara supaya mau kembali ke Jakarta ternyata tidak mudah. Gadis kecil itu bersikeras ingin tinggal di New York. Ia tidak merajuk atau menangis, tetapi diam-diam ia mengeluarkan mainannya yang sudah disimpan di kotak yang akan kami bawa ke Indonesia.

Disillusioned ◇Where stories live. Discover now