5. Lion's Den

1.6K 129 43
                                    

/lion's den/

sarang singa (harafiah); tempat yang penuh bahaya dan ancaman

.

.

.

Pesawat jet pribadi kami telah lepas landas dua jam yang lalu. Tiara tertidur di sofa, kepalanya berbaring di atas pahaku. Aku menyingkirkan rambut yang menutupi pipinya sambil menghapus sisa air matanya.

Selama beberapa hari terakhir ini, dia benar-benar menguji kesabaranku. Dia merajuk, kabur, bersembunyi, dan mengerjai Diandra. Terakhir, ia menangis sejadi-jadinya ketika Tatiana dan suaminya, Santiago, serta kedua putra mereka, Nicholas dan Xavier, mengantarkan kami di bandara JFK. Lucunya, Xavier pun ikut menangis. Aku dan Tatiana kewalahan menghibur anak kami masing-masing. Aku harus menggendongnya -- padahal Tiara sudah lumayan berat -- dan berjanji akan kembali ke New York musim dingin nanti.

Di anak tangga pesawat, Surya hanya menatap adegan ini dengan tatapan dinginnya, seakan-akan mencibirku, "Satu anak saja merepotkan, mau tambah lagi?"

Yah, tapi kuabaikan saja ekspresi suamiku itu. Aku tetap sayang pada Tiara, meskipun ada kalanya dia sangat menyebalkan.

Mataku beralih dari wajah Tiara ke arah Surya yang duduk di sofa tunggal, menulis rencana di agendanya. Dari samping pun suamiku terlihat tampan. Hidungnya lurus dan mancung, dan rahang tegasnya ditumbuhi sisa rambut yang tak bisa tercukur bersih. Kulit pipinya masih mulus meskipun usianya sudah menginjak tigapuluh enam tahun.

Kalau saja aku belum tahu sifat aslinya, aku pasti jatuh hati padanya sekali lagi.

***

Setelah transit di London dan Doha, pesawat kami mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Indonesia. Begitu kami menginjakkan kaki di aspal, terik matahari dan udara panas nan lembab menyambut kami. Aku mencoba membangunkan Tiara, namun gadis kecil itu tidak mau bangun -- entah pura-pura tidur atau sungguhan. Terakhir kali, ia membuat ulah di Doha dengan menolak naik ke pesawat dan bersikeras tinggal di sana.

"Nel, tunggu apa lagi? Ayo turun," panggil suamiku dari dekat pintu pesawat.

"Tiara nggak mau bangun," ujarku.

"Bangunkan dia," suruh Surya.

"Sudah, tapi dia masih nggak mau bangun." Aku bisa membangunkan Tiara dengan berbagai cara, namun aku sengaja berlagak lemah supaya Surya turun tangan mengurusi putrinya yang keras kepala.

Surya melirik ke jam tangannya, lalu berjalan ke arahku dan membopong Tiara. Tubuh gadis kecil itu mengeras, menandakan bahwa ia tidak benar-benar tertidur. Namun tenaganya tentu saja kalah dari tenaga ayahnya. Sambil menggotong Tiara, Surya menuruni tangga pesawat. Aku ikut di belakangnya, menahan senyum.

Alfred menjemput kami dengan mobil Mercedes S-Class hitam, diiringi mobil-mobil hitam lainnya yang memuat bodyguard kami. Aku membuka pintu belakang dan masuk ke dalam mobil. Surya meletakkan Tiara di sebelahku dan mengambil tempat di kursi penumpang di sebelah Alfred.

Sejam kemudian, mobil berhenti di depan sebuah rumah megah bercat putih di Menteng. Di tengah halamannya yang sangat luas terdapat air mancur yang terbuat dari marmer putih. Kompleks yang kutinggali selama tiga tahun awal pernikahan kami ini terdiri dari satu rumah utama dan satu rumah yang lebih kecil. Kami tinggal di rumah utama bersama keluarga besar Jati -- Ayah, Ibu, Tanjung, dan Cathy. Sedangkan rumah yang lebih kecil ditempati oleh Alfred dan keluarganya.

Disillusioned ◇Where stories live. Discover now