8. Nostalgia

1.3K 107 52
                                    

/nostalgia/

perasaan rindu terhadap masa lalu, biasanya berkaitan dengan kenangan yang menyenangkan.

.

.

.

Kenapa Mario bisa ada di sini? Siapa yang mengundangnya? Dan yang lebih buruk, kenapa dia datang? Bukankah dia pasti membaca namaku sebagai istri Surya Jati?

Mario, teman SMA-ku dan juga cinta pertamaku. Aku terakhir kali bertemu dengannya duabelas tahun yang lalu, saat kami putus karena harus melanjutkan studi masing-masing -- aku ke Amerika Serikat, dia ke Australia. Dua sisi benua yang berbeda. Karena kami belum terlalu serius menjalani hubungan, kami memutuskan untuk berpisah secara baik-baik. Tak ada kesalahpahaman, pertengkaran, apalagi perselingkuhan.

Terakhir kali aku mengetahui kabarnya delapan tahun lalu, sebelum aku menikah dengan Surya. Kudengar Mario telah bertunangan dan menetap di Australia. Saat itu, aku sedang berada di puncak dunia dan hanya mengharapkan kebahagiaan bagi siapa saja.

Tapi sekarang ...

Kulihat Mario duduk bersama beberapa lelaki di satu meja. Tidak ada perempuan yang mendampinginya. Aku tak mau menduga-duga. Bisa saja dia sedang ada urusan bisnis dengan suamiku lalu datang ke Indonesia dan diundang ke acara kami, dan istrinya tidak ikut.

Lagipula, aku tidak seharusnya memikirkan dia.

Aku menghela napas dan mulai mengucapkan pidatoku. Kuurungkan niatku untuk berkeluh kesah di acara ini. Bukannya aku ingin berbohong, namun kuputuskan tidak baik mengumbar masalah pribadi di muka umum.

Maka aku membalas ucapan manis Surya dengan kata-kata yang tak kalah indahnya. Betapa dia suami yang selalu memenuhi kebutuhan keluarganya, memerhatikan kesehatan istri dan anaknya, melibatkanku dalam acara-acara bisnisnya. Pokoknya aku mencari sisi terbaik dari hubungan kami dan menunjukkannya kepada masyarakat.

Walaupun dalam hati aku berdarah.

Surya menciumku di bibir setelah aku menyelesaikan pidatoku. Entah mengapa, pikiranku lagi-lagi berkelana ke Mario. Aku penasaran dengan reaksinya. Namun aku mengingatkan kepada diriku untuk fokus.

Ingat, Surya itu suamimu. Jangan pikirkan lelaki lain.

Tapi saat kami membalikkan badan untuk menghadap penonton, mataku lagi-lagi tertuju ke arah tempat duduk Mario.

Kosong.

***

Setelah makan malam, kami punya waktu luang untuk menyapa dan mengobrol dengan para tamu. Papa, Mama, dan kakak-kakakku memuji kemesraan kami di atas panggung. Begitu pula dengan Ayah dan Ibu yang menatapku puas, seakan-akan aku tak mempermalukan keluarga Jati. Tak ada reaksi dari Tanjung dan Cathy, namun Puspa menatapku iba. Tampaknya ia memahami perjuanganku untuk melontarkan kata-kata tersebut.

Aku mencari Tiara yang tak ada di tengah-tengah kedua keluargaku. Melihat putriku sedang bermain dengan sepupu-sepupunya serta Phillip, aku tersenyum lega. Diandra mengawasi anak-anak itu.

Namun aku perlu berbicara pada anakku sebentar. Jadi aku memanggilnya.

"Mama, I'm playing!" protes Tiara.

Aku menahan geli. Dasar anak-anak, ibunya mencarinya setengah mati, dia malah protes dipanggil.

"Mama cuma mau lihat kamu baik-baik saja, oke?" Aku merapikan pita di rambutnya dan menciumi kedua pipinya. "Mama mau ngobrol sama teman-teman Mama, nggak apa-apa, kan?"

Disillusioned ◇Where stories live. Discover now